Rabu, 27 Mei 2009

Pantai Widara Payung, Cilacap; Dari Surfing Sampai Berkuda

0 komentar

Selama ini, Cilacap sering dikaitkan dengan Pulau Nusa Kambangan, tempat ditahannya narapidana kelas kakap. Padahal potensi kabupaten terluas di Jawa Tengah yang punya semboyan Cilacap Bercahaya ini banyak banget, mulai dari keindahan alam sampai industri rakyatnya. Dan cocok banget nih buat yang mau investasi atau sekedar berlibur.

Cilacap adalah salah satu kabupaten dengan wilayah terluas di Jawa Tengah. Potensi daerahnya pun sangat banyak. Selain penjara Nusa Kambangan yang terkenal hingga ke manca negara, Cilacap punya sejumlah objek wisata menarik.

Pantai indah Widara Payung adalah salah satu pesona wisata yang ada di kabupaten Cilacap. Hanya berjarak 35 kilometer dari pusat kota, pantai yang luasnya sekitar 500 hektar itu tidak pernah sepi peminat.

Kesan pertama begitu melihat pantai indah Widara Payung ini adalah gelombang laut atau ombaknya yang besar. Pengakuan atas tingginya ombak di sini bahkan sering dinyatakan oleh Organisasi Selancar International yang menilai ombak di pantai Indah Widara Payung layak untuk tempat surfing.

Melihat ombak tinggi yang lalu kandas di bibir pantai yang landai, kelihatannya memang jadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Seperti Hitam dan Iqbal. Kedua pemuda yang hobi bermain surfing itu berpendapat, ombak di pantai indah Widara Payung tidak kalah dibandingkan di wilayah lain.

Bagi yang tidak hobi dan berselancar dan berenang di pantai, coba deh naik kuda yang disediakan gratis untuk para wisatawan. Dijamin berkuda sambil menikmati deburan ombak memberi nuansa lain. Jangan lewatkan juga wisata bahari menyusuri perairan Segara Anakan. Dari pelabuhan Tanjung Intan, wisatawan dapat menggunakan perahu Compreng atau kapal nelayan kecil dengan tarif Rp 50 - 100 ribu perorang.

Segara Anakan ini adalah laguna di pantai Selatan Pulau Jawa dengan ekosistem rawa bakau atau mangrove yang komposisi dan struktur hutannya paling lengkap di Pulau Jawa.

Selain bisa menikmati keindahan jajaran hutan mangrove dengan beragam satwa liarnya, kita juga bisa mampir di kampung laut dan mengunjungi gua Masigit sela yang ada di kaki bukit pulau Nusakambangan.

Gua Masigit Sela punya juru kunci atau penjaga. Pak Suryono namanya. Gua ini memang punya banyak kisah mistis. Antara lain di percaya pernah menjadi tempat persinggahan Nabi Sulaiman, sejumlah Wali Songo hingga Presiden RI pertama Bung Karno.

Menurut sang kuncen, banyak pejabat maupun warga yang ingin sukses bersemedi di gua ini. Tapi diluar aneka kisah mistis itu, gua Masigit Sela menawarkan keindahan hamparan Stalaktit dan Stalakmit yang sayang kalau dilewatkan.

Keinginan Pemkab Cilacap untuk meningkatkan potensi wisata yang ada di kota pesisir ini tidak tanggung tanggung. Terbukti dari rencana membangun sebuah tempat wisata terpadu. Selain aquarium raksasa, kawasan wisata terpadu yang bernama Jamusari Park, nantinya akan menjadi objek agro wisata lengkap dengan pusat perkemahan, hotel hingga sky lift.

Bukan sektor pariwisata saja yang menjadi andalan Cilacap, ada sebuah industri rakyat yang kini tengah berkembang pesat. Sebutret namanya, singkatan dari serat serabut kelapa keriting berkaret alang.

Proses pembuatan sebutret sangat sederhana. Bahan bahan yang dibutuhkan seperti kelapa dan karet pun banyak terdapat di Cilacap. Sebutret ini nantinya akan digunakan sebagai bahan untuk membuat jok mobil, bantal atau kasur lipat.

Bila melihat aneka produknya, tidak heran banyak apreasi yang tertuju pada sebutret. Namun karena keterbatasan modal, usaha sebutret ini belum bisa berkembang optimal. Padahal pesenan terus mengalir, termasuk dari luar negeri, termasuk dari Jepang, Amerika dan sejumlah negara Eropa.

Peluang untuk ekspor terpaksa tertunda dulu. Sadar dengan potensi Sebutret dan juga sektor pariwisata yang ada di daerahnya, pihak Pemkab Cilacap pun terus berupaya mengundang investor untuk menanamkan modalnya. Antara lain dengan cara memangkas birokrasi perizinan.

Nah kurang apalagi, dengan kondisi alam Cilacap yang indah, lengkap dengan jaminan keamanan dari pemerintah kabupaten dan pihak DPRD, mestinya tidak perlu ragu lagi untuk berinvestasi maupun berwisata di Cilacap

sumber : perempuan.com

Georgetown, Penang; Dari Pantai Hingga Makanan

0 komentar
Menjelang senja di Georgetown, ibu kota Penang, Malaysia, eksotika matahari tenggelam tampak sangat indah di sela-sela deretan pohon kelapa. Saat berjalan mendekati garis pantai, air laut terlihat biru sampai di batas cakrawala. Penang terletak di sisi barat Semenanjung Malaysia, terdiri dari bagian Pulau Penang dan daratan Penang. Untuk menghubungkannya tersedia fasilitas penyeberangan dengan kapal feri atau melalui Jembatan Penang, sepanjang 13,5 kilometer.

Pulau Penang terkenal dengan pantainya yang indah, yaitu di Tanjung Bungah, Batu Ferringhi, dan Teluk Bahang. Pantai ini selalu ramai dikunjungi wisatawan. Terlebih ketika diselenggarakan Penang International Dragon Boat Festival, yang berlangsung setiap bulan Juni dan menjadi momen untuk menyedot wisatawan. Pulau Penang menjadi bagian sejarah kolonialisme Inggris. Pada tahun 1786 pasukan Inggris di bawah pimpinan Kapten Francis Light mulai menguasai pulau tersebut. Kemudian Kapten Francis membangun sebuah benteng pertahanan. Benteng itu dinamakan Fort Cornwallis dan menjadi ikon penting Negeri Bagian Penang.

Fort Cornwallis digunakan sebagai pertahanan menghadapi serangan tentara Perancis dan kawanan bajak laut. Nama ibu kota Penang yang diambil dari nama King of George III, mencerminkan warisan kekuasaan Kerajaan Inggris di Penang. Walaupun penduduk Pulau Penang berasal dari berbagai etnis di Asia, seperti Melayu, Cina, India dan Burma, mereka telah lama berbaur dengan selaras. Rumah ibadah berbagai agama hidup berdampingan dan pemeluk agama menjalankan ritualnya masing-masing.

Di Jalan Burmah terdapat dua kuil dari komunitas Budhis yang berbeda, yaitu Thailand dan Burma. Yang menarik, Wat Chaiya Mangkalaram letaknya berhadapan dengan Dhammikarama Burmese Buddhist Temple. Di Wat Chaiya Mangkalaram, terdapat patung Budha yang berbaring miring sepanjang 33 meter dan dilapisi emas. Bangunan utama kuil Dhammikarama atapnya berhiaskan ukiran cantik khas Burma, berwarna keemasan. Di dalamnya terdapat sebuah patung Budha yang berdiri tegak, sementara di belakangnya berjajar rapi patung-patung Budha dengan ukuran lebih kecil.

Ketika menyusuri lorong kota, terlihat beberapa bangunan kuno yang dilestarikan sebagai peninggalan karya seni. Di antara megahnya bangunan-bangunan hotel di sepanjang Leith Street, tampak sebuah rumah besar bergaya Cina, dikenal sebagai The Cheong Fatt Tze Mansion. Rumah bercat biru ini sering juga disebut La Mansion Bleu, memiliki 38 kamar tidur dan 220 jendela, selesai dibangun pada tahun 1880 di atas tanah seluas 1 hektare. Keindahan dan kerapian rumah mantan "Rockefeller dari Timur", yang telah direnovasi hingga menyerupai bangunan aslinya, telah membuahkan penghargaan UNESCO Conservation Award tahun 2000.

Kecintaan pada seni arsitektur dari pasangan Lawrence Loh dan Loh Lim Lee, membuat La Mansion Bleu menjadi salah satu landmark Penang, juga objek wisata. "Saat membeli bangunan ini, turisme tidak menjadi tujuan utama kami. Kecintaan akan sejarahlah yang membuat kami merenovasinya," kata Lim Lee. Pelestarian rumah Cheong Fatt Tze oleh pasangan Loh dilakukan dengan menggunakan dana pribadi, tanpa campur tangan pemerintah. Awalnya bagian dalam rumah sangat kotor, tangga marmernya telah rusak. Namun, seluruh lantai bangunan masih baik, juga tiang-tiang besi buatan Glasgow, Inggris, yang menyangga bangunan utama.

Ketika memasuki rumah tersebut, kita seakan berada di masa silam. Ruang utamanya begitu luas, dengan jendela dan pintu kayu berukir ornamen khas Cina. Di sudut ruangan terdapat meja bundar terbuat dari marmer dan kursi kayu berayaman rotan. Sayap kanan bangunan antik tersebut kini disewakan kepada pengunjung yang ingin tidur di rumah abad lalu. Sewa kamar per malam sekitar 200 hingga 800 ringgit, tergantung dari luas kamar dan perlengkapannya.

Ketika berbaring di ranjang kayu berukir, dengan tirai kelambu yang menjuntai, mata ini terasa enggan terpejam. Terbayang di benak saya, seorang putri Cina sedang memainkan harpa, sambil menyanyikan lagu tentang cinta. Kehadiran berbagai etnis dengan sajian kuliner masing-masing, membuat Penang dikenal sebagai surga makanan. Mulai dari restoran mewah hingga hawker center, tersebar si sepanjang Jalan Penang. Menyajikan makanan khas Melayu, India, dan Cina.

Hawker center adalah food court yang terletak di udara terbuka. Harga makanan di tempat ini relatif murah. Pengunjung boleh memilih meja di mana saja di area hawker center. Pembayaran dilakukan di meja, setelah makanan diantar. Aneka menu nasi dapat dipilih di sini. Ada nasi lemak, sejenis nasi uduk dengan lauk ikan bilis goreng, kacang tanah goreng, dan sambal belacan. Cicipilah nasi kandar khas India Selatan. Seporsi nasi putih disajikan di atas selembar daun pisang, dengan pilihan lauk seperti gulai telur ikan, sayur kari, dan rendang. Lauk pauknya mirip masakan Padang, tetapi bumbu rempah-rempahnya terasa lebih tajam.

Atau nasi briyani, dibuat dari beras basmathi dengan bumbu rempah-rempah, seperti bunga cengkih, kulit kayu manis, dan daun pandan. Nasi briyani biasanya disantap bersama chicken makhani, ditambah papadam (kerupuk khas India). Chicken makhani terbuat dari daging ayam yang direndam dalam yoghurt ditambah rempah-rempah, lalu dimasak dengan mentega dan tomat.

Lidah benar-benar diajak menari lewat sesuap nasi briyani ditambah satu gigitan chicken makhani. Paduan rasa pedas rempah-rempah dengan rasa gurih dan segar dari campuran mentega dan tomat, sungguh lezat. Apalagi ketika dicecap, ada aroma wangi pandan berbaur dengan kayu manis yang membelai saraf penciuman. Variasi olahan mi, dari mi rebus, mi hokian, hingga mi pedas szechuan juga dapat dinikmati di hawker center. Selain makanan, Penang juga menyediakan tempat belanja yang menarik. Beberapa mal menggelar diskon yang menggoda. Namun, belanja di toko-toko kecil yang berjajar di Jalan Penang dan Lebuh Leight lebih mengasyikkan.

sumber : perempuan.com

Danau Ranau, Palembang; Keindahan Berselimut Misteri

0 komentar
Keindahan Danau Ranau tak terbantahkan lagi. Namun, letaknya yang jauh dari pusat kota, Palembang, membuat objek wisata ini ibarat “misteri”. Keindahannya tersaput kabut. Oleh karena itu, meskipun indah, wisatawan yang berkunjung ke sini masih bisa dihitung dengan jari. Sama seperti awal terbentuknya danau itu yang dilingkungi misteri. Kendati secara ilmiah terbentuk melalui sebuah proses alam, masyarakat setempat percaya ada misteri yang melatarbelakangi terciptanya danau ini.

Mencapai lokasi ini, selain dari Palembang, juga bisa dijangkau dari Provinsi Lampung. Danau Ranau merupakan danau terbesar dan terindah di Sumatera Selatan yang terletak di Kecamatan Banding Agung, Kabupaten OKU Selatan (dahulu masuk dalam wilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu). Berjarak sekitar 342 kilometer (km) dari Kota Palembang, 130 km dari Kota Baturaja, dan 50 km dari Muara Dua, ibu kota OKU Selatan, dengan jarak tempuh dengan mobil sekitar tujuh jam dari Kota Palembang. Sementara itu, dari Bandar Lampung, danau ini bisa ditempuh melalui Bukit Kemuning dan Liwa.

Secara geografis, danau ini terletak di perbatasan Kabupaten OKU Selatan, Provinsi Sumatera Selatan dan Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung Danau Ranau yang mempunyai luas sekitar 8×16 km dengan latar belakang Gunung Seminung (ketinggian ± 1.880 meter dpl), dikelilingi oleh bukit dan lembah. Pada malam hari, udara sejuk dan pada siang hari cerah suhu berkisar antara 20°-26° Celsius. Terletak pada posisi 4°51’45” Bujur Selatan dan 103°55’50” Bujur Timur.

Secara teori, danau ini tercipta dari gempa besar dan letusan vulkanik dari gunung berapi yang membuat cekungan besar. Sungai besar yang sebelumnya mengalir di kaki gunung berapi itu kemudian menjadi sumber air utama yang mengisi cekungan itu. Lama-kelamaan, lubang besar itu penuh dengan air. Kemudian, di sekeliling danau baru itu, mulai ditumbuhi berbagai tanaman, di antaranya tumbuhan semak yang oleh warga setempat disebut ranau. Oleh karena itu, danau itu pun dinamakanl Danau Ranau. Sisa gunung api itu kini menjadi Gunung Seminung yang berdiri kokoh di tepi danau berair jernih tersebut.

Pada sisi lain di kaki Gunung Seminung, terdapat sumber air panas alam yang keluar dari dasar danau. Di sekitar danau ini juga dapat ditemui Air Terjun Subik. Tempat lain yang menarik untuk dikunjungi adalah Pulau Marisa yang terletak tidak jauh dari air panas.

Meskipun secara teori ilmiah diyakini danau ini terjadi akibat gempa tektonik, seperti Danau Toba di Sumatera Utara dan Danau Maninjau di Sumbar, sebagian besar masyarakat sekitar masih percaya danau ini berasal dari pohon ara. Konon, di tengah daerah yang kini menjadi danau itu, tumbuh pohon ara yang sangat besar berwarna hitam.

Masyarakat dari berbagai daerah, seperti Ogan, Krui, Libahhaji, Muaradua, dan Komering berkumpul di sekeliling pohon. Mereka mendapat kabar, jika ingin mendapatkan air, harus menebang pohon ara tersebut.

Persis saat akan menebang pohon, mereka bingung bagaimana cara memotongnya. Ketika itulah, muncul burung di puncak pohon yang mengatakan untuk memotong pohon harus membuat alat mirip kaki manusia. Akhirnya, pohon ara pun tumbang. Dari lubang bekas pohon ara itulah keluar air dan akhirnya meluas hingga membentuk danau. Sementara itu, pohon ara yang melintang membentuk Gunung Seminung.

Kondisi ini membuat jin yang tinggal di Gunung Pesagi meludah hingga membuat air panas di dekat Danau Ranau. Serpihan batu dan tanah akibat tumbangnya pohon ara menjadi bukit yang ada di sekeliling danau.

Di samping itu, masih di sisi Danau Ranau, tepatnya di Pekon Sukabanjar, berseberangan dengan Lombok, terdapat kuburan yang diyakini masyarakat sebagai makam Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat. Makam keduanya terletak di kebun warga Sukabanjar bernama Maimunah. Untuk menuju ke lokasi, selain naik perahu motor dari Lombok, bisa juga dengan berkendaraan. Menurut juru kunci kuburan, H Haskia, di sini terdapat dua buah batu besar. Satu batu telungkup yang diyakini sebagai makamnya Si Pahit Lidah dan satu batu berdiri sebagai makamnya Si Mata Empat.

Si Pahit Lidah yang oleh masyarakat disebut sebagai Serunting Sakti berasal dari Kerajaan Majapahit. Karena nakal, raja mengusir Si Pahit Lidah yang bernama asli Raden Sukma Jati ini ke Sumatera. Si Pahit Lidah pun menetap di Bengkulu, Pagaralam, dan Lampung. Si Pahit Lidah memiliki kelebihan. Apa pun yang dikemukakannya terkabul menjadi batu. Akibatnya, Si Mata Empat yang berasal dari India mencarinya hingga bertemu di Lampung, tepatnya di Way Mengaku.

Di sini keduanya saling mengaku nama. Lalu, keduanya beradu ketangguhan, di antaranya memakan buah yang bentuknya seperti aren. Ternyata buah aren itu pantangan bagi Si Pahit Lidah sehingga akhirnya dia tewas. Si Mata Empat yang mengetahui lawannya tewas tidak percaya dan mencoba menjilat lidahnya agar ilmunya bisa diserap. Akhirnya, dia pun tewas.

Begitulah Danau Ranau. Objek wisata yang sebenarnya menjanjikan. Sayangnya, hingga kini wisatawan masih belum banyak yang menikmatinya.

sumber : perempuan.com

Danau Sentarum, Kalbar; Menangkap Ikan Saat Kerinan

0 komentar
Perahu kayu membelah permukaan tenang Danau Sentarum di Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat. Perahu itu meliuk-liuk di antara rerimbunan beragam tanaman yang tumbuh dari dasar Danau Sentarum, lahan basah terbesar kedua di Asia Tenggara.

Di tengah danau, di antara rimbunan pohon, perahu berhenti. Jhony Adi, warga Danau Sentarum, melompat keluar kapal. Di bagian kering itu, air danau hanya mencapai lututnya. Dia masuk ke rerimbunan pepohonan yang menyerupai lorong itu. Di ujung lorong tampaklah pemandangan menyerupai sebuah kolam besar dengan belasan perahu nelayan mengapung-apung. Pyarr......pyarr...beberapa nelayan menebar jalanya. Jhony lalu masuk ke sebuah kapal dan mulai menangkap ikan. Begitu jala ditarik, ikan-ikan menggelepar di dasar perahu kayu.

Kolam itu sebetulnya cekungan di dasar danau. Danau seluas 132.000 hektar tersebut terdiri atas danau-danau kecil yang satu sama lain dihubungkan aliran sungai. Saat danau surut, air bersama ikan-ikan terperangkap di dalamnya. Saat itulah, warga melaksanakan tradisi kerinan atau menangkap ikan bersama-sama.

Siang itu, kerinan dilaksanakan di Kolam Senampon, demikian warga menamai kolam itu. Pengambilan ikan harus bersama-sama. Mereka yang mendahului akan dikenai sanksi berupa denda uang lantaran dianggap sama dengan pencurian. Hasil tangkapan dinikmati bersama-sama dan sebagian dijual guna mengisi kas desa untuk dana keagamaan, olahraga, kegiatan pemuda, dan kepentingan kampung lainnya.

Sekali kerinan bisa diperoleh sampai 800 kilogram ikan. Terkadang sekali kerinan dapat tiga juta rupiah. Ikan tidak boleh pula semuanya dikuras dari kolam di tengah danau tersebut. ”Harus ada bagian yang disisakan agar ikan tidak habis,” ujar Jhony Adi. Ketua lembaga swadaya masyarakat Riak Bumi, Ade Jumhur, yang hadir dalam kerinan itu berkisah, tradisi tersebut sudah ada sejak zaman Kerajaan Selimbau, ratusan tahun lalu.

Di masa silam, kerinan biasanya didahului dengan ritual bebantar, yaitu memberi ”makan” atau sesaji kepada danau. Sajian berupa buah-buahan, gandum, dan tiruan bentuk ikan. Tradisi bebantar itu sekarang sudah tidak dilakukan lagi oleh masyarakat Danau Sentarum yang sebagian besar Melayu tersebut.

Taman Nasional Danau Sentarum berada di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat, atau sekitar 700 kilometer dari Kota Pontianak. Di dalam kawasan Danau Sentarum terdapat lebih dari 40 dusun permanen dan belasan dusun musiman.

Dusun-dusun telah ada di kawasan itu sejak sebelum abad ke-18 atau lebih dari dua abad yang lalu. Dahulu, di kawasan itu terdapat sekitar lima kerajaan, yakni Kerajaan Selimbau, Suhaid, Jongkong, Bunut, dan Kerajaan Piasa. Kini, batas-batas kerajaan sudah lenyap menjadi kecamatan sehingga tidak jelas lagi batas-batas kerajaan masa lalu.

Masyarakat Danau Sentarum hidup berdampingan dengan alam sejak ratusan tahun lalu. Sebagian besar masyarakat mengandalkan hidupnya dari mencari madu hutan, perajin rotan dan kayu, budi daya ikan danau, serta nelayan penangkap ikan.

Danau yang terbentuk pada zaman es atau periode pleistosen tersebut memiliki kekayaan flora dan fauna luar biasa. Ada 510 spesies tumbuhan dan 141 spesies hewan mamalia. Taman nasional itu tempat hidup 266 spesies ikan yang sekitar 78 persen di antaranya merupakan ikan endemik air tawar Borneo. Di danau ini hidup pula 26 spesies reptil dan 310 spesies burung.

Hutan di kawasan tersebut juga surga bagi lebah liar (Apis dorsata) yang mampu menghasilkan madu terbaik di Kalimantan Barat. Keaslian madu hutan Danau Sentarum telah diakui dengan didapatkannya Sertifikat Sistem Pangan Organik untuk madu hutan dari Board of Indonesian Organic Certification (BIOCert).

Selain itu, kawasan danau itu menjadi habitat berbagai jenis ikan air tawar. Ikan yang bernilai ekonomis dan dikonsumsi warga, antara lain ikan gabus, toman, baung, lais, belida, dan jelawat. Bekerja sebagai nelayan ikan merupakan pekerjaan dan sumber penghasilan utama mereka

Belakangan populasi ikan terganggu. Permintaan dan harga yang bagus terhadap ikan toman membuat penduduk sejak 10 hingga 15 tahun terakhir bersemangat membudidayakan ikan toman di dalam keramba. Para nelayan mengambil bibit toman dari danau kemudian membesarkannya di dalam keramba. ”Bibit ikan toman biasanya mengelompok sehingga sekali menebar jala ukuran panjang 1 hingga 2 sentimeter, nelayan bisa mendapat 1.000 sampai 2.000 ekor bibit,” ujar Ade yang lembaganya mendampingi warga danau untuk pengorganisasian pencari madu hutan dan nelayan.

Persoalannya, warga mengambil ikan-ikan kecil lain dari danau sebagai pakan toman. Perlahan, terjadi ketidakseimbangan populasi ikan di danau. ”Mulai terasa efeknya. Dulu mereka hanya membutuhkan sepuluh bulan budi daya untuk mendapatkan ikan seberat 1 kilogram, sekarang harus memelihara selama satu tahun agar mencapai berat yang sama. Itu karena pakan ikan dari danau berkurang,” ujarnya.

Dalam pertemuan tahunan warga danau, permasalahan itu telah dibahas. Mereka berharap dibuat balai benih di daerah Danau Sentarum untuk nantinya disebar dan mengimbangi populasi ikan di danau. ”Di Kapuas Hulu ada satu balai benih, tetapi susah diakses lantaran jarak sangat jauh dan mereka merasa tidak mungkin bisa mengakses bibit ikan di sana,” ujar Ade.

Pemecahan lainnya yang diusulkan adalah penggantian jenis ikan di keramba. Ikan toman yang karnivora atau pemangsa ikan kecil dapat diganti dengan ikan pemakan tumbuhan, seperti gurami, betutu, dan bawal. Berkurangnya pengambilan ikan kecil sebagai pakan akan memulihkan populasi ikan danau. Kalau ikan-ikan tidak sempat lagi besar di danau, bisa jadi kerinan nanti hanya tinggal cerita Jhony Adi ke anak cucunya.

sumber : perempuan.com

Danau Sentarum, Kalbar; Menangkap Ikan Saat Kerinan

0 komentar
Perahu kayu membelah permukaan tenang Danau Sentarum di Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat. Perahu itu meliuk-liuk di antara rerimbunan beragam tanaman yang tumbuh dari dasar Danau Sentarum, lahan basah terbesar kedua di Asia Tenggara.

Di tengah danau, di antara rimbunan pohon, perahu berhenti. Jhony Adi, warga Danau Sentarum, melompat keluar kapal. Di bagian kering itu, air danau hanya mencapai lututnya. Dia masuk ke rerimbunan pepohonan yang menyerupai lorong itu. Di ujung lorong tampaklah pemandangan menyerupai sebuah kolam besar dengan belasan perahu nelayan mengapung-apung. Pyarr......pyarr...beberapa nelayan menebar jalanya. Jhony lalu masuk ke sebuah kapal dan mulai menangkap ikan. Begitu jala ditarik, ikan-ikan menggelepar di dasar perahu kayu.

Kolam itu sebetulnya cekungan di dasar danau. Danau seluas 132.000 hektar tersebut terdiri atas danau-danau kecil yang satu sama lain dihubungkan aliran sungai. Saat danau surut, air bersama ikan-ikan terperangkap di dalamnya. Saat itulah, warga melaksanakan tradisi kerinan atau menangkap ikan bersama-sama.

Siang itu, kerinan dilaksanakan di Kolam Senampon, demikian warga menamai kolam itu. Pengambilan ikan harus bersama-sama. Mereka yang mendahului akan dikenai sanksi berupa denda uang lantaran dianggap sama dengan pencurian. Hasil tangkapan dinikmati bersama-sama dan sebagian dijual guna mengisi kas desa untuk dana keagamaan, olahraga, kegiatan pemuda, dan kepentingan kampung lainnya.

Sekali kerinan bisa diperoleh sampai 800 kilogram ikan. Terkadang sekali kerinan dapat tiga juta rupiah. Ikan tidak boleh pula semuanya dikuras dari kolam di tengah danau tersebut. ”Harus ada bagian yang disisakan agar ikan tidak habis,” ujar Jhony Adi. Ketua lembaga swadaya masyarakat Riak Bumi, Ade Jumhur, yang hadir dalam kerinan itu berkisah, tradisi tersebut sudah ada sejak zaman Kerajaan Selimbau, ratusan tahun lalu.

Di masa silam, kerinan biasanya didahului dengan ritual bebantar, yaitu memberi ”makan” atau sesaji kepada danau. Sajian berupa buah-buahan, gandum, dan tiruan bentuk ikan. Tradisi bebantar itu sekarang sudah tidak dilakukan lagi oleh masyarakat Danau Sentarum yang sebagian besar Melayu tersebut.

Taman Nasional Danau Sentarum berada di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat, atau sekitar 700 kilometer dari Kota Pontianak. Di dalam kawasan Danau Sentarum terdapat lebih dari 40 dusun permanen dan belasan dusun musiman.

Dusun-dusun telah ada di kawasan itu sejak sebelum abad ke-18 atau lebih dari dua abad yang lalu. Dahulu, di kawasan itu terdapat sekitar lima kerajaan, yakni Kerajaan Selimbau, Suhaid, Jongkong, Bunut, dan Kerajaan Piasa. Kini, batas-batas kerajaan sudah lenyap menjadi kecamatan sehingga tidak jelas lagi batas-batas kerajaan masa lalu.

Masyarakat Danau Sentarum hidup berdampingan dengan alam sejak ratusan tahun lalu. Sebagian besar masyarakat mengandalkan hidupnya dari mencari madu hutan, perajin rotan dan kayu, budi daya ikan danau, serta nelayan penangkap ikan.

Danau yang terbentuk pada zaman es atau periode pleistosen tersebut memiliki kekayaan flora dan fauna luar biasa. Ada 510 spesies tumbuhan dan 141 spesies hewan mamalia. Taman nasional itu tempat hidup 266 spesies ikan yang sekitar 78 persen di antaranya merupakan ikan endemik air tawar Borneo. Di danau ini hidup pula 26 spesies reptil dan 310 spesies burung.

Hutan di kawasan tersebut juga surga bagi lebah liar (Apis dorsata) yang mampu menghasilkan madu terbaik di Kalimantan Barat. Keaslian madu hutan Danau Sentarum telah diakui dengan didapatkannya Sertifikat Sistem Pangan Organik untuk madu hutan dari Board of Indonesian Organic Certification (BIOCert).

Selain itu, kawasan danau itu menjadi habitat berbagai jenis ikan air tawar. Ikan yang bernilai ekonomis dan dikonsumsi warga, antara lain ikan gabus, toman, baung, lais, belida, dan jelawat. Bekerja sebagai nelayan ikan merupakan pekerjaan dan sumber penghasilan utama mereka

Belakangan populasi ikan terganggu. Permintaan dan harga yang bagus terhadap ikan toman membuat penduduk sejak 10 hingga 15 tahun terakhir bersemangat membudidayakan ikan toman di dalam keramba. Para nelayan mengambil bibit toman dari danau kemudian membesarkannya di dalam keramba. ”Bibit ikan toman biasanya mengelompok sehingga sekali menebar jala ukuran panjang 1 hingga 2 sentimeter, nelayan bisa mendapat 1.000 sampai 2.000 ekor bibit,” ujar Ade yang lembaganya mendampingi warga danau untuk pengorganisasian pencari madu hutan dan nelayan.

Persoalannya, warga mengambil ikan-ikan kecil lain dari danau sebagai pakan toman. Perlahan, terjadi ketidakseimbangan populasi ikan di danau. ”Mulai terasa efeknya. Dulu mereka hanya membutuhkan sepuluh bulan budi daya untuk mendapatkan ikan seberat 1 kilogram, sekarang harus memelihara selama satu tahun agar mencapai berat yang sama. Itu karena pakan ikan dari danau berkurang,” ujarnya.

Dalam pertemuan tahunan warga danau, permasalahan itu telah dibahas. Mereka berharap dibuat balai benih di daerah Danau Sentarum untuk nantinya disebar dan mengimbangi populasi ikan di danau. ”Di Kapuas Hulu ada satu balai benih, tetapi susah diakses lantaran jarak sangat jauh dan mereka merasa tidak mungkin bisa mengakses bibit ikan di sana,” ujar Ade.

Pemecahan lainnya yang diusulkan adalah penggantian jenis ikan di keramba. Ikan toman yang karnivora atau pemangsa ikan kecil dapat diganti dengan ikan pemakan tumbuhan, seperti gurami, betutu, dan bawal. Berkurangnya pengambilan ikan kecil sebagai pakan akan memulihkan populasi ikan danau. Kalau ikan-ikan tidak sempat lagi besar di danau, bisa jadi kerinan nanti hanya tinggal cerita Jhony Adi ke anak cucunya.

sumber : perempuan.com

P. Biawak, Jabar; Pesona Tak Terlupakan

0 komentar
Berbeda dengan kawasan selatan, wilayah laut utara Jawa tak identik dengan wisata. Kalaupun ada titik-titik yang dijadikan tempat wisata, pemandangan yang ditawarkan tetap tak seindah kawasan laut selatan. Seperti itu juga kondisi wisata laut di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Pesisir Indramayu tidak memberikan tawaran serupa pantai di Kabupaten Sukabumi atau Garut yang sama-sama termasuk wilayah Jawa Barat. Bahkan, pesisir sering kali merupakan daerah kantong-kantong kemiskinan yang ditandai dengan rumah-rumah dan lingkungan yang kumuh.

Namun, kunjungilah Pulau Biawak. Pesona alam merupakan anugerah Tuhan bagi pulau yang berjarak sekitar 40 kilometer dari pantai utara Indramayu ini. Airnya bening dan pasirnya putih seperti kebanyakan pantai di kawasan selatan. Daratan seluas 120 hektar ini juga kaya dengan tanaman bakau yang hijau dan rapat dipandang dari ketinggian.

Sedikitnya ada dua nama lain yang lazim digunakan untuk menyebut Pulau Biawak, yakni Pulau Rakit dan Pulau Menyawak. Karena itu, Anda tak perlu berdebat ketika orang menyebut nama selain Pulau Biawak. Petugas menara suar yang tinggal di sana, Slamet Riyanto, mengatakan, sebelumnya ada lagi sebutan untuk Pulau Biawak, yakni Pulau Bompyis, yang merupakan nama warisan penjajah Belanda. "Kalau tidak salah, nama Pulau Rakit diubah menjadi Pulau Biawak pada tahun 1980-an," kata Slamet yang bertugas di sana bersama seorang temannya.

Tulisan nama Bompyis masih tersisa pada papan di ruangan genset. Genset itu digunakan untuk penerangan permukiman petugas dan, terutama, untuk menyalakan lampu suar. Lampu penunjuk arah bagi para pelaut itu terletak pada menara setinggi 65 meter. Bangunan tersebut juga merupakan "warisan" Belanda, yakni dibangun pada tahun 1872. Di bagian dalam menara, yang berbentuk silinder, terdapat tangga memutar dengan keseluruhan anak tangga berjumlah 240. Butuh keberanian untuk menaiki tangga tersebut. Namun, jika berhasil mengalahkan rasa takut dalam diri Anda, di puncak menara Anda akan menemukan pemandangan hutan bakau dan laut yang memesona.

Sesuai dengan namanya, pulau ini merupakan habitat biawak (Varanus salvator). Konon reptilia itu sudah ada sejak pulau tersebut didatangi manusia pada lebih dari satu abad yang lalu. Belum ada penghitungan yang memberikan data pasti tentang jumlah binatang itu. Namun, jumlahnya diperkirakan mencapai ratusan ekor. Mereka hidup di rawa-rawa dan semak-semak hutan bakau yang keberadaannya mendominasi daratan itu.

Biawak-biawak tersebut tidak jinak. Namun, "mereka tidak menyerang kalau tidak kita ganggu," kata Dulrokhim (61), nelayan Indramayu yang tengah berada di sana. Dulrokhim menambahkan, biawak biasanya juga mampir ke kawasan rumah penjaga menara suar, terutama saat ada nelayan yang singgah membawa ikan. "Mungkin bau amis ikan itu yang mengundang mereka datang," kata Dulrokhim. Meski tidak jinak, lanjutnya, ada beberapa biawak yang tak segera lari kalau didekati. "Mungkin sudah terbiasa. Jadi, tidak takut lagi terhadap manusia," kata Dulrokhim lagi.

Ada beberapa biawak yang keluar dari kerimbunan hutan bakau. Seekor di antaranya bahkan cukup besar, panjangnya sekitar 1,5 meter. Tubuhnya dibalut kulit warna coklat kehitaman dan dipenuhi bintik-bintik kuning. Menurut Dulrokhim, hanya biawak jenis itu yang sering ia jumpai. Namun, tak hanya biawak yang merupakan kekayaan fauna lingkungan Pulau Biawak. Banyak juga burung yang melintasi angkasa pulau tersebut, antara lain cangak laut (Ardea sumatrana), trinil pantai (Bubulcus ibis), dan burung udang biru (Alcedo Caerulenscens).

Lautnya yang bening juga merupakan surga bagi ratusan jenis biota laut dengan bentuk dan warna yang indah. Kondisi terumbu karang pada kedalaman tiga meter masih cukup bagus. Berdasarkan data di Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu, terdapat 95 jenis ikan yang mewakili 30 famili, antara lain ikan zebra (Dendrichirus zebra), kupu-kupu (Chaetodon chrysurus), dan merakan (Pterois valiteus). Dengan menyelam, ikan-ikan cantik itu dapat dilihat mulai dari kedalaman lebih kurang satu meter. Sayangnya, pada tahun 2004 keindahan ini pernah tercemar oleh lapisan minyak mentah. Tidak diketahui dari mana asal minyak mentah tersebut. Diduga, bahan pencemar itu berasal dari kapal tanker yang sering melintasi kawasan perairan Indramayu. "Waktu itu, terumbu karang banyak yang mati," kata Kepala Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai Indramayu Koko Sudeswara.

Selain Pulau Biawak, kawasan ini juga menawarkan kecantikan Pulau Gosong dan Pulai Candikian. Pulau Gosong berjarak tempuh sekitar setengah jam dari Pulau Biawak. Pulau Candikian juga berjarak 30 menit dari Pulau Biawak. Berbeda dengan Pulau Biawak, kedua pulau ini tak berpenghuni. Bahkan, Pulau Gosong yang sebenarnya lebih luas dari Pulau Biawak hanya tersisa beberapa meter persegi. Pulau itu sering digunakan untuk bertapa dengan tujuan mencari kekayaan dan sejenisnya. Pulau ini "hilang" akibat pengerukan untuk pembangunan Pertamina Unit Pengolahan VI Balongan Exor I sekitar tahun 1980-an.

Melihat potensi alamnya, kawasan ini bisa memuaskan para pemburu kenikmatan wisata. Pulau cantik itu saat ini benar-benar masih perawan. Untuk perjalanan sekitar empat jam dari Indramayu ke lokasi itu, misalnya, belum tersedia perahu khusus. Kalaupun menyewa, pengunjung harus merogoh kocek sekitar Rp 750.000 untuk perahu nelayan berkapasitas sekitar sepuluh orang. Selain itu, juga belum ada dermaga yang memudahkan pengunjung mencapai bibir pantai saat air pasang. Selain itu, juga belum ada rumah-rumah peristirahatan yang bisa disewa wisatawan.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Indramayu Abdul Hakim mengatakan, Pemerintah Kabupaten kesulitan mengembangkan kawasan itu. Terutama, katanya, tidak ada daya tarik wisata lain yang bisa ditawarkan sebagai pendamping Pulau Biawak.

Selain itu, kawasan tersebut benar-benar belum tersentuh sehingga investor pasti enggan mengingat besarnya biaya yang harus ditanamkan. Meski demikian, lanjutnya, Pemerintah Kabupaten Indramayu sudah berencana menggarap potensi itu. Saat ini telah tersedia anggaran Rp 1,6 miliar dari APBN dan Rp 375 juta dari APBD II. "Pemerintah provinsi juga telah membantu saat identifikasi potensi," kata Hakim.

Ia berharap, setelah pemerintah membuka "isolasi", investor akan tertarik mengembangkan Pulau Biawak. "Tentunya dengan rambu-rambu yang akan membatasi upaya komersialisasi agar tetap terjaga untuk konservasi," kata Hakim lagi. Pemerintah Kabupaten Indramayu, katanya, telah menyiapkan peraturan daerah untuk itu.

sumber : perempuan.com

Danau Sidihoni, Samosir; Danau Diatas Danau

0 komentar
Hari yang sangat cerah untuk kami memulai perjalanan. Tujuan kami adalah Danau Sidihoni. Inilah salah satu keunikan Pulau Samosir, yaitu danau di atas danau. Danau ini terletak 8 km dari Pangururan. Menurut masyarakat sekitar, air danau ini surut pada saat gempa Nias beberapa waktu yang lalu. Air danau yang dulunya menutup dataran tersebut memang terlihat dangkal. Tidak ada yang tahu ke mana air itu menghilang.

Namun, surutnya air danau, tak mengurangi keindahan di sana. Danau Sidihoni yang dikelilingi pegunungan itu tidak kalah indah dengan lokasi wisata yang lainnya. Udara di sekitar danau jadi sangat sejuk.

Kemudian, perjalanan kami selanjutnya menuju Museum Huta Bolon Simanindo untuk menyaksikan Tarian Sigale-gale. Sebuah tarian tradisional masyarakat Batak yang juga memiliki legenda. Konon dalam tarian ini melibatkan seekor kerbau yang menjadi persembahan kepada dewa-dewi. Namun hanya simbolis saja.

Sebelum menyaksikan tarian Sigale-gale, kami sempat berkeliling ke dalam museum. Di sana terdapat beberapa peninggalan Raja Batak. Ada kain ulos dengan berbagai macam motif dan nama, peralatan masak, senjata perang dan perhiasan-perhiasan. Semuanya itu terkumpul dengan rapi di sebuah rumah adat Batak yang menjadi tempat penyimpanan, barang-barang tersebut dipajang dalam lemari kaca yang dipantek agar terhindar dari tangan-tangan jahil orang tidak bertanggung jawab.

Tepat pukul 10.30 tarian pun dimulai. Dimulai dengan menggiring kerbau ke tengah lapangan dan mengikatkannya pada sebuah pohon. Dari rumah adat yang ada di sebelah kanan dan kiri, muncul 3 wanita dan 2 pria lengkap dengan pakaian ada Batak. Mereka melakukan ritual tarian dengan iringan bunyi alat musik khas Batak. Tariannya seakan merepresentasikan kebiasaan masyarakat Batak pada jaman dahulu. Tarian ini memiliki 12 babak. Babak yang terakhir adalah Gondang Sigale-gale, yang menari dan bercerita dengan alat bantu boneka dari kayu.

Disampaikan bahwa pada jaman dahulu, ada seorang raja yang sangat sayang pada anaknya. Sampai pada suatu hari sang anak meninggal dunia karena sakit. Raja pun merasa sangat kesepian tanpa anaknya, lalu ia mencari pemahat yang sangat ahli dan memintanya untuk dibuatkan patung yang wujudnya sama persis seperti anaknya.

Namun karena itu hanya sebuah patung, Sang Raja tetap merasa kesepian. Akhirnya Sang Raja memanggil roh anaknya untuk masuk ke dalam patung itu agar dapat bergerak layaknya seorang manusia yang masih hidup. Kisah tentang kesedihan seorang ayah yang ditinggal anaknya inilah yang masih dijaga warga sekitar dengan melestarikannya.

Selesai dari museum Huta Bolon Simanindo, kami ingin sekali melihat bagaimana cara pembuatan ulos Batak. Tidak lengkap rasanya perjalanan kami bila belum melihat bagaimana pembuatan ulos Batak. Karena ulos merupakan kerajinan khas masyarakat Batak. Kami tiba di Desa Perbaba. Di sana ada sebuah home industry penghasil ulos. Sayangnya, saat kami tiba di sana para pengrajin sedang beristirahat makan siang. Hanya nampak seorang ibu yang sedang mengerjakan ulos berwarna merah muda.

Di bawah matahari siang, sang ibu asyik duduk di bawah pohon yang rindang. Terlihat tangannya sangat terampil membuat motif untuk ulos dari benang berwarna emas. Alat yang digunakan tidak jauh berbeda dengan alat pembuat songket di Palembang. Yang membedakannya hanya motif-motif kainnya.

Ulos mempunyai motif yang sangat unik. Selesai melihat pembuatan ulos, perjalanan kami lanjutkan ke Siallagan Ambarita. Di sinilah terjadinya persidangan yang pertama kali. Tempatnya agak terpencil, dikelilingi oleh pagar dari batu dengan tinggi kira-kira 2 meter. Pintu masuknya kecil dan di sana juga ada sebuah patung yang menjaga pintu itu.

Masuk ke dalam Desa Siallagan terdapat kira-kira 7 rumah adat Batak. Di antara rumah-rumah tersebut, ada sebuah rumah yang paling besar. Rumah terbesar itu adalah rumah Raja Siallagan. Tepat di depan rumah Sang Raja, terdapat sebuah mahkamah persidangan yang terdiri dari sebuah meja bundar yang terletak di tengah-tengah dan dikelilingi oleh kursi-kursi yang semuanya terbuat dari batu.

Mahkamah itu dinaungi oleh sebuah pohon yang sangat besar dan tua, disebut Pohon Hari Ara. Pohon Hari Ara atau yang dikenal dengan Pohon Tujuh Hari. Disebut Pohon Tujuh Hari karena pohon ini merupakan perlambang dari makmur tidaknya sebuah kerajaan. Bila ditemukan sebuah tanah, maka pohon ara akan ditanam terlebih dahulu. Dan jika dalam tujuh hari pohon itu tidak tumbuh, maka tanah tersebut tidak layak dijadikan sebagai lokasi sebuah kerajaan. Sebab, jika pohon saja tidak dapat hidup, maka bagaimana halnya dengan manusia?

Siallagan Ambarita cukup ramai dikunjungi wisatawan, baik yang asing maupun domestik. Selama berada di dalamnya ada seorang guide yang akan menceritakan bagaimana sejarah Batu Persidangan ini. Cerita yang sangat unik dan menarik. Ditambah dengan pemandangan alam yang sangat indah, memukau dan memesona. Bagaimana? Apakah Samosir akan menjadi daerah tujuan anda berikutnya?

Pulau Samosir yang sekarang disebut sebagai Kabupaten Samosir, merupakan salah satu dari 13 kabupaten yang ada di Sumatera Utara. Untuk mencapai pulau yang terletak ditengah danau Toba ini, dapat ditempuh dengan dua cara. Pertama dengan menggunakan kapal ferry dari Ajibata dan yang kedua dengan jalan darat via Brastagi.

Dari Medan, kalau pergi rombongan lebih praktis menyewa mobil menuju Prapat. Dilanjutkan ke Samosir dengan menggunakan kapal ferry menyeberangi Danau Toba yang sangat legendaris. Jarak Medan ke Prapat sekitar 176 km atau lebih kurang 4 jam. Samosir berhawa sejuk dan di beberapa tempat yang lebih tinggi terasa dingin. Sebaiknya bawa jaket atau sweater tebal biar lebih nyaman.

sumber : perempuan.com
 

Copyright 2008 All Rights Reserved | Blogger Template by Bloganol and Smart Blogging Tips