Suara siter itu bagaikan ucapan selamat datang. Mengalun lembut menembus rasa terdalam. Kidung Sunda yang dinyanyikan Ayi Bonsai mengantarkan pengunjung ke kehangatan Kawah Putih yang cukup atis (dingin) siang itu. Tubuhnya tak sampai semeter, itu sebabnya dia dipanggil “Bonsai”.
Lelaki ini memetik siter sejak fajar memulas sampai angin sore di Kawah Putih memaksanya pulang. Dengan ikat kepala dari kain batik, ia mencoba menjadi ikon tempat wisata di Bandung Selatan tersebut. Ayi sudah sejak 1993 berkidung dengan siternya di tempat itu. Ia menyalami setiap pengunjung dengan lagu, sebetulnya, tak ubahnya dengan pengamen yang mengetuk dari pintu ke pintu. Tetapi oleh pengelola kawasan wisata itu dia diberi tempat di sisi undak tangga terbawah menuju ke kawah berbentuk danau tersebut.
”Siapa pun yang datang ke sini, mudah-mudahan dipenuhi kurnia dan rezeki, langgeng dalam bahtera rumah tangga, dan kembali ke sini sudah bersama anak cucu,” begitu kira-kira Ayi menerjemahkan kidung ”Kawah Putih” yang dibawakannya.
Ayi tak sendiri. Di awal anak tangga, suara Asep lantang bergema. Wajahnya memerah karena cuaca dingin dan belasan lagu yang sudah ia ulang-ulang membuat wajahnya panas. Pengamen kecil di undak Kawah Putih ini tetap bernyanyi, menanti lalu lalang orang melemparkan rupiah kepadanya.
Ayi dan Asep bagai penghangat di suhu dingin Kawah Putih yang bisa mencapai 5-22 derajat Celcius. Terletak di lereng Gunung Patuha, Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung, di kawasan Bandung Selatan, lokasi ini berada kurang lebih 46 kilometer dari Bandung.
Air di “danau” ini bisa berwarna hijau toska, atau biru langit. Perubahan ini tergantung kandungan mineral di bawahnya. Kadang pula muncul titik-titik putih mirip salju, seolah wilayah ini bukan bagian dari tanah Sunda. Dikelilingi dinding bukit yang terjal. Bagian lainnya, tampak landai. Tak ayal, foto pernikahan pun sering diambil di tempat ini. Selain karena pemandangannya, pasangan calon pengantin menyambangi tempat ini juga karena mitos rumah tangga langgeng yang dipercaya tadi.
Konon, Kawah Putih yang berada pada ketinggian 2.194 meter di atas permukaan laut ini terbentuk saat terjadi letusan Gunung Patuha sekitar tahun 1000-1200. Awalnya, kawasan ini dipercaya sebagai tempat yang wingit (keramat), tempat bersemayamnya arwah para leluhur Bandung Selatan.
Kawasan yang dulunya masih berupa hutan tersebut makin dipercaya angker. Terlebih ketika tak seekor burung pun yang mau terbang melayang di atas kawasan itu. Tahun 1837, seorang Belanda peranakan Jerman bernama Dr Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864) mengadakan perjalanan ke daerah Bandung Selatan.
Ketika sampai di kawasan tersebut, Junghuhn merasakan suasana yang sangat sunyi dan sepi. Kesunyian ini mengusiknya. Masyarakat pun mengingatkannya untuk tidak melanjutkan perjalanan. Tapi ia tak surut. Jugnhuhn melanjutkan perjalanannya menembus hutan belantara di gunung itu. Namun sebelum sampai di puncak gunung, Junghuhn tertegun menyaksikan pesona alam yang begitu indah di hadapannya. Ketika mencium bau belerang tajam, tahulah ia jawabannya kenapa tidak ada burung yang mau terbang melintasi kawasan tersebut.
Kekayaan akan belerang ini yang membuat Belanda mendirikan pabrik belerang Zwavel Ontgining Kawah Putih. Di zaman Jepang, usaha pabrik ini dilanjutkan dengan menggunakan sebutan Kawah Putih Kenzanka Yokoya Ciwidey, dan langsung berada di bawah pengawasan militer.
Kini, tanda dilarang berdiri berlama-lama di mulut gua belerang tersebut dipasang. “Bahaya kalau menghirup bau belerang yang tajam,” ujar Ayi, bak guide (pemandu) lapangan. Itu sebabnya pagar sederhana digunakan sebagai penghalang masuk ke gua tersebut.
Menikmati Kawah Putih sebetulnya tidak hanya ketika sampai tujuan saja. Perjalanan selama kurang lebih tiga jam dari Jakarta sangat nyaman untuk dinikmati. Lepas dari Soreang, untuk masuk ke kawasan ini disediakan kendaraan umum. Bonusnya, menikmati pemandangan pegunungan dan udara gunung yang dingin. Sesekali mata akan tersaput oleh kabut, membuat kendaraan harus dijalankan hati-hati.
Fasilitas umum di kawasan ini cukup memadai, seperti tempat ibadah, kamar kecil, pusat informasi, kawasan bermain, dan kios suvenir. PT Perhutani mengembangkan tempat wisata ini sejak akhir tahun 1980-an.
Mengudap ketan bakar ataupun stroberi yang dicelup cokelat juga lumayan nikmat. Maklum, udara dingin cepat bikin lapar. Jangan lupa, bandrek produksi lokal cap Abah di Ciwidey, karena kalau Anda membelinya di Bandung, harganya sudah naik 100 persen. Tempat lain yang wajib Anda kunjungi juga adalah Situ Patengan dan pemandian air panas Cimanggu
sumber : perempuan.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar