Banyak daerah di Indonesia yang memiliki wilayah yang luas, namun tidak memiliki banyak obyek wisata. Cilacap adalah Kabupaten dengan wilayah paling luas di propinsi Jawa Tengah. Hanya saja nama penjara Nusa Kambangan sudah kepalang basah mencitrakan daerah ini sebagian daerah napi. Padahal ada kawasan Segara Anakan, sebuah hutan bakau yang luas yang menggoda siapa saja yang ingin menikmati petualangan bahari.
Segara Anakan adalah kawasan laguna unik seluas 40 ribu hektar di Pantai Selatan Pulau Jawa. Tidak hanya hutan bakau dengan keberagaman flora dan fauna, Segara Anakan menjadi tempat menarik bagi para nelayan yang tinggal di kampung ini. Serta gua yang dipercaya menjadi tempat tinggal para makhluk gaib.
Pelabuhan Sleko adalah gerbang utama, untuk memasuki kawasan wisata Segara Anakan. Segara Anakan guna dibagian belakang Pulau Nusa Kambangan dan untuk mencapainya bisa menggunakan perahu nelayan kecil atau compreng, yang tarifnya 50 hingga 100 ribu rupiah per orang.
Perjalanan sekitar 3 jam dari hulu hingga ke hilir. Hutan bakau mulai terlihat ketika memasuki sungai kecil. Disini laju perahu harus diperlambat agar tidak menabrak jajaran pohon bakau yang tumbuh dengan lebatnya. Hutan bakau tertata dengan rapi di area yang begitu luas, sekitar 9000 hektar.
Nelayan kerap melintasi kawasan ini untuk membawa hasil tangkapan mereka. Meskipun warga asli Segara Anakan, para nelayan disini sulit mendapatkan air bersih dan bahan bakar. Dan drum-drum yang mereka bawa ini berisi air bersih dan BBM yang mereka beli dari Kota Cilacap.
Setelah sekian lama berputar-putar kami tiba dibibir sungai. Disini suasana begitu hidup dengan kicauan burung kuntul. Serta buah yang dapat dipercaya menjadi tempat tinggal para makhluk gaib. Kawasan Segara Anakan sebagian masih terlindungi dengan baik dari gangguan manusia. Namun hanya sebagian kecil. Kabarnya, tinggal sekitar 1200 hektar yang masih terawat dengan baik.
Perlahan-lahan hutan bakau Segara Anakan terkikis habis. Baik secara alamiah karena proses pendangkalan, namun juga ulah manusia yang mengambil kayu bakau. Butuh perjuangan keras untuk menyelamatkan kawasan ini.
Tidak jelas sejak kapan ada pemukiman nelayan di kawasan pesisir Segara Anakan. Jajaran perumahan sederhana yang berdiri tegak ini adalah pemukiman penduduk asli. Di kawasan ini yang namanya lebih dikenal dengan nama Kampung Laut, cukup sulit untuk menjangkaunya karena letaknya sangat terpencil.
Kami merapat di Kampung Laut, ujung Aru. Kesan terpencil begitu terasa. Kampung sangat sepi. Ada 3 desa di kampung ini. Bagi penduduk disini, Segara Anakan ibarat sepasang kekasih yang tidak bisa dipisahkan dengan Kampung Laut. Penduduk disini sangat bergantung dengan laguna, yang menjadi sumber kehidupan mereka.
Bila laguna ini tidak diselamatkan dari proses pendangkalan, maka sama saja kiamat bagi mereka. Kami bertemu dengan salah satu penduduk disini bernama Yani, yang tinggal bersama putranya, Ujang. Hidup mereka bergantung dari kepiting bakau, yang banyak hidup dikawasan ini.
Mereka biasanya mulai mengumpulkan dan melihat hasilnya pada malam hari. Mereka menjualnya hingga ke kota-kota besar seperti Semarang dan Jakarta. Harganya sekitar 40 hingga 50 ribu rupiah per kiloan dan menjadi 2 kali lipat bila kita menyantapnya di restaurant.
Hidup matinya Kampung Laut tergantung dari kepiting bakau, yang hidup disini. Mereka berharap harganya akan terus membaik di pasar. Yang barangkali mereka tidak tahu adalah sampai kapan kepiting ini beranak pinak, bila lingkungan kawasan Segara Anakan kian terancam.
Kampung Laut bukan akhir dari cerita tentang Segara Anakan. Sebagian kawasan ini masih diselimuti hal-hal yang gaib. Bagi sebagian orang yang pernah datang ke tempat ini. Di kawasan ini terdapat gua yang bernama Masigitsela, yang letaknya di kaki bukit Pulau Nusakambangan.sumber : perempuan.com
0 komentar:
Posting Komentar