Lima belas menit kami lalui perjalanan dari hotel. Lalin Jogja yang agak ramai dengan kunang lampu motor dan mobil disana – sini menggugah rasa menikmati cantiknya temaram malam. Kami tiba di Jl. Gejayan, jembatan merah. Mike memarkir mobil kami di deretan paling pojok, biar gampang saat keluar nanti katanya.
"What can I do for you?" wanita kejawaan ini menawarkan keramahtamahan khas Jawa pada umumnya; gandes luwes.
"Hi, we have reserved a table for 5 people in Gamelan room" Mike menerangkan bahwasannya ia telah memesan meja beberapa jam yang lalu. Wanita tadi dengan cekatan mengantar kami hingga ruangan yang kami maksud. Melewati sebuah terowongan ala jaman Belanda dengan dinding – dindingnya yang tebal nan dingin, kaki kami menaiki tangga yang melengkung tapi kecil itu hingga menangkap dengungan instrument khas Jawa. Apakah itu patet atau slendro yang jelas mainannya membuat senyuman kami mengembang. Tradisional banget! Beberapa penyinden dengan kebaya brokat warna mengkilap, kami pandangi para niyaga yang mengenakan beskap khas Jogja warna cerah. Alamak, ciamik nan eksotik!
Seperti biasa pastilah lama menunggu menu tersaji didepan muka. Kelvin mulai tak jenak. Bocah ini pengen jalan – jalan saja. Akhirnya saya temani ia menengok ruang jazz hingga ruang country. Wuahhhh, masing – masing menawarkan kekhasan musik dari pemusik piawai lokal. Lihat saja jentikan piano dari ruang jazz dengan suara serak – serak basah penyanyi berbaju hitam - hitam atau betikan bas gitar besar dengan pakaian yang unik menarik diruang country. Romantis sekali bukan? Nampaknya resto ini cocok bagi pasangan yang mendambakan nuansa romantisme d'amor, bisnis sersan (serius tapi santai), kekeluargaan yang tiada tara atau sekedar bagi Anda pencicip makanan apa saja di kota gudeg ini.
Sekian lama harapan melahap sajian sebanding dengan kepuasan yang diberikan. Usai melahap makanan, saya segera melaksanakan ibadah sholat Isya. Untung pramusaji memberitahu dimana saya bisa wudlu dan sholat di salah satu rumah – rumahan yang terbuat dari bambu pembatas ruang gamelan ke ruang country. Tanaman tropis disekitar mempercantik resto yang masih saja mempesona para pengunjung internasional maupun lokal ini.
Tak terasa hidangan penutup tak tersisa di atas meja resto yang kabarnya tak terpengaruh semasa gempa waktu lalu. Mata kami mulai mengantuk. Waktunya tidur; kamipun beranjak pergi setelah membayar bon yang disodorkan si pramusaji. Mike meninggalkan sedikit tip sebagai symbol terima kasih atas pelayanan yang bagus dan tak terlupakan, meski harus sedikit menunggu lama masakan terhidang. Yah, namanya ramai pengunjung … harus sabar sedikit. Senang rasanya kami segera beranjak pergi, jika tidak; bisa - bisa kantong bolong kerana melahap menu – menu lezat yang ditawarkan dalam daftar menu resto Gajah Wong ini. Bagaimana tidak? Saking enaknya sajian dan suasana yang tercipta, pasti rasa ingin mencicipi makanan dan minuman tak henti – hentinya menderu di dada. Hebring tenan!
Penulis : Gana Stegmann
Fotografer : Gana Stegmann, Gadjah Wong
sumber : liburan.info
0 komentar:
Posting Komentar