Bogota menjadi kiblat kota Jakarta dalam membangun transportasi perkotaan yang berkelanjutan, terutama jalur bus khusus (busway) transjakarta. Dalam rangka studi banding tentang pelaksanaan transportasi perkotaan itulah Kompas mengunjungi kota berpenduduk sekitar tujuh juta jiwa tersebut. Lajur pejalan kaki terbuka lebar dengan jalur sepeda (ciclovias) terlihat di sisi dalam dan tengahnya. Tidak ada pedagang kaki lima di sana, kecuali pedagang asongan dengan jumlah sangat terbatas. Hanya ada satu atau dua pedagang dalam 1 atau 2 kilometer.
Di hampir semua sudut, sisi dan median jalan pasti terdapat taman yang tidak saja ditumbuhi pepohonan hijau, tetapi juga tanaman hias dan aneka bunga. Ada taman yang juga dilengkapi bangku, tong sampah dan arena bermain anak–anak seperti perosotan dan ayunan.
Pepohonan berdaun rimbun dengan taman–taman kecil memberi napas yang menyegarkan di sepanjang ruas jalan sepeda. Ruang terbuka hijau terdapat di mana–mana dan anda akan melewati jalan yang membelah sebuah kawasan hutan kota yang cukup luas.
Entah berapa luas hutan kota itu. Yang jelas, kawasan itu terbentang dari Carrera 7 di utara kota atau tepatnya di kaki gunung, mengikuti sisi kanal Rio Negro yang bermuara ke Rio Bogota. Puluhan pesepeda berhenti sejenak menghirup udara di sana sambil bercengkerama.
Hutan sepanjang 22 kilometer itu dinamai Porque El Virrey (porque artinya taman). Konon di Jakarta dahulu, antara Blok M dan Kota pernah dirancang sebagai hutan kota tetapi gagal.
Taman kota yang jauh lebih luas lagi di Bogota terdapat di seputaran persimpangan Carrera 48, Carrera 36ª dan Carrera 36ª hingga Temple Eucaristico. Kawasan itu merupakan gabungan tiga taman besar, yakni Simon Bolivar, El Solitre dan El Lago. Ribuan orang membanjiri kawasan itu setiap hari Minggu atau hari libur.
Di tengah kawasan hutan itu terdapat tiga danau kecil dan juga museum, serta pusat rekreasi warga kota lainnya. Sama seperti taman–taman kota lainnya, kawasan itu tidak dipagari. Wajah kota selalu bersih tanpa sampah atau kotoran lainnya. Taman atau hutan kota menjadi ciri utama yang banyak disebut orang di Bogota.
Banyaknya ruang terbuka hijau yang tertata rapi, indah dan terpelihara memberi karakter tersendiri bagi kota Bogota dan penduduknya. Tidak ada kesan semrawut, jorok atau kotor. Tidak pula tercium bau apek sampah. Kota ini benar–benar dibangun dengan konsep manusiawi sekali (berwawasan ekologis dan ekonomis).
Padahal hingga tujuh tahun silam, kota ini termasuk kota paling jorok dan kumuh di dunia. Kemudian rumah–rumah dirobohkan dan permukiman liar diratakan, lalu pemerintah menatanya menjadi lebih manusiawi. Kebanyakan permukiman liar itu dihuni warga dari daerah yang terhanyut arus urbanisasi.
Ada juga warga kota dengan identitas jelas yang menempati kawasan terlarang. Kata Eduardo, mereka semua digusur. Warga kota yang memiliki identitas sebagai warga kota diberi hak relokasi ke tempat yang telah disediakan atau pemerintah akan membangun perumahan murah untuk mereka.
Pasca penggusuran itu, kata Eduardo, dimulailah penataan kota dengan wajah baru. "Kota ditata lebih manusiawi, seperti jalan raya diperlebar, dibangun pula jalur pedestrian dan sepeda. Taman dalam kota pun diperbanyak. Saat ini setidaknya terdapat lebih dari 1.000 taman dalam kota mulai yang besar sampai kecil (pocket park)," tutur Eduardo.
Saat ini Bogota menjadi kota terbaik di Amerika Selatan yang menerapkan sistem transportasi massal. Jakarta pun harus lebih banyak lagi belajar, mulai dari persoalan kemacetan dan kesemrawutan hingga penataan kotanya. Juga soal penggusuran.
Foto : lumika.org
Sumber : perempuan.com/liburan.info
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar