Sedikitnya ada dua nama lain yang lazim digunakan untuk menyebut Pulau Biawak, yakni Pulau Rakit dan Pulau Menyawak. Karena itu, Anda tak perlu berdebat ketika orang menyebut nama selain Pulau Biawak. Petugas menara suar yang tinggal di sana, Slamet Riyanto, mengatakan, sebelumnya ada lagi sebutan untuk Pulau Biawak, yakni Pulau Bompyis, yang merupakan nama warisan penjajah Belanda. "Kalau tidak salah, nama Pulau Rakit diubah menjadi Pulau Biawak pada tahun 1980-an," kata Slamet yang bertugas di sana bersama seorang temannya.
Tulisan nama Bompyis masih tersisa pada papan di ruangan genset. Genset itu digunakan untuk penerangan permukiman petugas dan, terutama, untuk menyalakan lampu suar. Lampu penunjuk arah bagi para pelaut itu terletak pada menara setinggi 65 meter. Bangunan tersebut juga merupakan "warisan" Belanda, yakni dibangun pada tahun 1872. Di bagian dalam menara, yang berbentuk silinder, terdapat tangga memutar dengan keseluruhan anak tangga berjumlah 240. Butuh keberanian untuk menaiki tangga tersebut. Namun, jika berhasil mengalahkan rasa takut dalam diri Anda, di puncak menara Anda akan menemukan pemandangan hutan bakau dan laut yang memesona.
Sesuai dengan namanya, pulau ini merupakan habitat biawak (Varanus salvator). Konon reptilia itu sudah ada sejak pulau tersebut didatangi manusia pada lebih dari satu abad yang lalu. Belum ada penghitungan yang memberikan data pasti tentang jumlah binatang itu. Namun, jumlahnya diperkirakan mencapai ratusan ekor. Mereka hidup di rawa-rawa dan semak-semak hutan bakau yang keberadaannya mendominasi daratan itu.
Ada beberapa biawak yang keluar dari kerimbunan hutan bakau. Seekor di antaranya bahkan cukup besar, panjangnya sekitar 1,5 meter. Tubuhnya dibalut kulit warna coklat kehitaman dan dipenuhi bintik-bintik kuning. Menurut Dulrokhim, hanya biawak jenis itu yang sering ia jumpai. Namun, tak hanya biawak yang merupakan kekayaan fauna lingkungan Pulau Biawak. Banyak juga burung yang melintasi angkasa pulau tersebut, antara lain cangak laut (Ardea sumatrana), trinil pantai (Bubulcus ibis), dan burung udang biru (Alcedo Caerulenscens).
Lautnya yang bening juga merupakan surga bagi ratusan jenis biota laut dengan bentuk dan warna yang indah. Kondisi terumbu karang pada kedalaman tiga meter masih cukup bagus. Berdasarkan data di Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu, terdapat 95 jenis ikan yang mewakili 30 famili, antara lain ikan zebra (Dendrichirus zebra), kupu-kupu (Chaetodon chrysurus), dan merakan (Pterois valiteus). Dengan menyelam, ikan-ikan cantik itu dapat dilihat mulai dari kedalaman lebih kurang satu meter. Sayangnya, pada tahun 2004 keindahan ini pernah tercemar oleh lapisan minyak mentah. Tidak diketahui dari mana asal minyak mentah tersebut. Diduga, bahan pencemar itu berasal dari kapal tanker yang sering melintasi kawasan perairan Indramayu. "Waktu itu, terumbu karang banyak yang mati," kata Kepala Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai Indramayu Koko Sudeswara.
Selain Pulau Biawak, kawasan ini juga menawarkan kecantikan Pulau Gosong dan Pulai Candikian. Pulau Gosong berjarak tempuh sekitar setengah jam dari Pulau Biawak. Pulau Candikian juga berjarak 30 menit dari Pulau Biawak. Berbeda dengan Pulau Biawak, kedua pulau ini tak berpenghuni. Bahkan, Pulau Gosong yang sebenarnya lebih luas dari Pulau Biawak hanya tersisa beberapa meter persegi. Pulau itu sering digunakan untuk bertapa dengan tujuan mencari kekayaan dan sejenisnya. Pulau ini "hilang" akibat pengerukan untuk pembangunan Pertamina Unit Pengolahan VI Balongan Exor I sekitar tahun 1980-an.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Indramayu Abdul Hakim mengatakan, Pemerintah Kabupaten kesulitan mengembangkan kawasan itu. Terutama, katanya, tidak ada daya tarik wisata lain yang bisa ditawarkan sebagai pendamping Pulau Biawak.
Selain itu, kawasan tersebut benar-benar belum tersentuh sehingga investor pasti enggan mengingat besarnya biaya yang harus ditanamkan. Meski demikian, lanjutnya, Pemerintah Kabupaten Indramayu sudah berencana menggarap potensi itu. Saat ini telah tersedia anggaran Rp 1,6 miliar dari APBN dan Rp 375 juta dari APBD II. "Pemerintah provinsi juga telah membantu saat identifikasi potensi," kata Hakim.
Ia berharap, setelah pemerintah membuka "isolasi", investor akan tertarik mengembangkan Pulau Biawak. "Tentunya dengan rambu-rambu yang akan membatasi upaya komersialisasi agar tetap terjaga untuk konservasi," kata Hakim lagi. Pemerintah Kabupaten Indramayu, katanya, telah menyiapkan peraturan daerah untuk itu.
sumber : perempuan.com
0 komentar:
Posting Komentar