Hari yang sangat cerah untuk kami memulai perjalanan. Tujuan kami adalah Danau Sidihoni. Inilah salah satu keunikan Pulau Samosir, yaitu danau di atas danau. Danau ini terletak 8 km dari Pangururan. Menurut masyarakat sekitar, air danau ini surut pada saat gempa Nias beberapa waktu yang lalu. Air danau yang dulunya menutup dataran tersebut memang terlihat dangkal. Tidak ada yang tahu ke mana air itu menghilang.
Namun, surutnya air danau, tak mengurangi keindahan di sana. Danau Sidihoni yang dikelilingi pegunungan itu tidak kalah indah dengan lokasi wisata yang lainnya. Udara di sekitar danau jadi sangat sejuk.
Kemudian, perjalanan kami selanjutnya menuju Museum Huta Bolon Simanindo untuk menyaksikan Tarian Sigale-gale. Sebuah tarian tradisional masyarakat Batak yang juga memiliki legenda. Konon dalam tarian ini melibatkan seekor kerbau yang menjadi persembahan kepada dewa-dewi. Namun hanya simbolis saja.
Sebelum menyaksikan tarian Sigale-gale, kami sempat berkeliling ke dalam museum. Di sana terdapat beberapa peninggalan Raja Batak. Ada kain ulos dengan berbagai macam motif dan nama, peralatan masak, senjata perang dan perhiasan-perhiasan. Semuanya itu terkumpul dengan rapi di sebuah rumah adat Batak yang menjadi tempat penyimpanan, barang-barang tersebut dipajang dalam lemari kaca yang dipantek agar terhindar dari tangan-tangan jahil orang tidak bertanggung jawab.
Tepat pukul 10.30 tarian pun dimulai. Dimulai dengan menggiring kerbau ke tengah lapangan dan mengikatkannya pada sebuah pohon. Dari rumah adat yang ada di sebelah kanan dan kiri, muncul 3 wanita dan 2 pria lengkap dengan pakaian ada Batak. Mereka melakukan ritual tarian dengan iringan bunyi alat musik khas Batak. Tariannya seakan merepresentasikan kebiasaan masyarakat Batak pada jaman dahulu. Tarian ini memiliki 12 babak. Babak yang terakhir adalah Gondang Sigale-gale, yang menari dan bercerita dengan alat bantu boneka dari kayu.
Disampaikan bahwa pada jaman dahulu, ada seorang raja yang sangat sayang pada anaknya. Sampai pada suatu hari sang anak meninggal dunia karena sakit. Raja pun merasa sangat kesepian tanpa anaknya, lalu ia mencari pemahat yang sangat ahli dan memintanya untuk dibuatkan patung yang wujudnya sama persis seperti anaknya.
Namun karena itu hanya sebuah patung, Sang Raja tetap merasa kesepian. Akhirnya Sang Raja memanggil roh anaknya untuk masuk ke dalam patung itu agar dapat bergerak layaknya seorang manusia yang masih hidup. Kisah tentang kesedihan seorang ayah yang ditinggal anaknya inilah yang masih dijaga warga sekitar dengan melestarikannya.
Selesai dari museum Huta Bolon Simanindo, kami ingin sekali melihat bagaimana cara pembuatan ulos Batak. Tidak lengkap rasanya perjalanan kami bila belum melihat bagaimana pembuatan ulos Batak. Karena ulos merupakan kerajinan khas masyarakat Batak. Kami tiba di Desa Perbaba. Di sana ada sebuah home industry penghasil ulos. Sayangnya, saat kami tiba di sana para pengrajin sedang beristirahat makan siang. Hanya nampak seorang ibu yang sedang mengerjakan ulos berwarna merah muda.
Di bawah matahari siang, sang ibu asyik duduk di bawah pohon yang rindang. Terlihat tangannya sangat terampil membuat motif untuk ulos dari benang berwarna emas. Alat yang digunakan tidak jauh berbeda dengan alat pembuat songket di Palembang. Yang membedakannya hanya motif-motif kainnya.
Ulos mempunyai motif yang sangat unik. Selesai melihat pembuatan ulos, perjalanan kami lanjutkan ke Siallagan Ambarita. Di sinilah terjadinya persidangan yang pertama kali. Tempatnya agak terpencil, dikelilingi oleh pagar dari batu dengan tinggi kira-kira 2 meter. Pintu masuknya kecil dan di sana juga ada sebuah patung yang menjaga pintu itu.
Masuk ke dalam Desa Siallagan terdapat kira-kira 7 rumah adat Batak. Di antara rumah-rumah tersebut, ada sebuah rumah yang paling besar. Rumah terbesar itu adalah rumah Raja Siallagan. Tepat di depan rumah Sang Raja, terdapat sebuah mahkamah persidangan yang terdiri dari sebuah meja bundar yang terletak di tengah-tengah dan dikelilingi oleh kursi-kursi yang semuanya terbuat dari batu.
Mahkamah itu dinaungi oleh sebuah pohon yang sangat besar dan tua, disebut Pohon Hari Ara. Pohon Hari Ara atau yang dikenal dengan Pohon Tujuh Hari. Disebut Pohon Tujuh Hari karena pohon ini merupakan perlambang dari makmur tidaknya sebuah kerajaan. Bila ditemukan sebuah tanah, maka pohon ara akan ditanam terlebih dahulu. Dan jika dalam tujuh hari pohon itu tidak tumbuh, maka tanah tersebut tidak layak dijadikan sebagai lokasi sebuah kerajaan. Sebab, jika pohon saja tidak dapat hidup, maka bagaimana halnya dengan manusia?
Siallagan Ambarita cukup ramai dikunjungi wisatawan, baik yang asing maupun domestik. Selama berada di dalamnya ada seorang guide yang akan menceritakan bagaimana sejarah Batu Persidangan ini. Cerita yang sangat unik dan menarik. Ditambah dengan pemandangan alam yang sangat indah, memukau dan memesona. Bagaimana? Apakah Samosir akan menjadi daerah tujuan anda berikutnya?
Pulau Samosir yang sekarang disebut sebagai Kabupaten Samosir, merupakan salah satu dari 13 kabupaten yang ada di Sumatera Utara. Untuk mencapai pulau yang terletak ditengah danau Toba ini, dapat ditempuh dengan dua cara. Pertama dengan menggunakan kapal ferry dari Ajibata dan yang kedua dengan jalan darat via Brastagi.
Dari Medan, kalau pergi rombongan lebih praktis menyewa mobil menuju Prapat. Dilanjutkan ke Samosir dengan menggunakan kapal ferry menyeberangi Danau Toba yang sangat legendaris. Jarak Medan ke Prapat sekitar 176 km atau lebih kurang 4 jam. Samosir berhawa sejuk dan di beberapa tempat yang lebih tinggi terasa dingin. Sebaiknya bawa jaket atau sweater tebal biar lebih nyaman.
sumber : perempuan.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar