Bangunan itu masih kokoh berdiri di sebuah puncak bukit di kota Taxila, sekitar 35 kilometer sebelah barat ibukota Pakistan, Islamabad. Padahal ia didirikan pada tahun 200 Masehi. Batu-batu berwarna krem dan abu-abu ditumpuk rapi menjadi dinding kompleks bihara dan stupa Jaulian. Bihara dan stupa ini pada masanya pernah menjadi sekolah paling beken untuk belajar tentang Buddha.
Situs Jaulian dirawat dan dipelihara pemerintah Pakistan bekerja sama dengan badan PBB, Unesco. Ia masuk ke dalam satu kompleks peradaban yang lebih besar, peninggalan Kerajaan Taxila, yang sudah berdiri sejak abad kelima sebelum Masehi. Jaulian sudah mengalami banyak hal. Dari masa kejayaan sebagai tempat belajar biksu-biksu terpilih, hingga masa kehancuran akibat diserbu suku Hun dengan pemimpin mereka yang legendaris, Attila. Suku yang gemar perang dari Asia tengah ini meringsek Taxila, menjarah, dan membakar kompleks stupa dan bihara Jaulian hingga ludes.
Salah satu bukti kekejaman mereka masih disimpan di Jaulian. Sebuah arca Buddha berwana krem yang sebagian sudah lumer akibat panas pembakaran kompleks bangunan agama ini. Arca itu sengaja disimpan dalam sebuah kotak di tengah bangunan bihara dan hanya sesekali dibuka. Situs keagaaman selalu menyimpan suasana mistis, apapun agamanya. Suasana ini bisa Anda rasakan di masjid kuno, gereja peninggalan kolonial, candi Buddha dan candi Hindu, sampai pada bangunan punden berundak.
Di Jaulian suasana mistis itu kental terasa. Begitu saya melewati pintu gerbang stupa yang terbuat dari kawat, yang memisahkan kompleks bihara dan stupa, bulu kuduk langsung berdiri.Takut? Tidak. Situs Jaulian sama sekali tidak seram. Tapi entah kalau malam hari. Di siang hari pertengahan Februari lalu itu, dengan cuaca cerah, matahari terang, langit tanpa awan, angin dingin semilir membelai kulit, Jaulian bukan menampakkan wajah seramnya. Hanya wajah hening sebagai sebuah situs pemujaan.
Stupa Jaulian adalah sebuah bangunan berwarna krem segi empat dengan lorong yang menyambung di tiap sisinya. Dinding bangunan dipahat relief Buddha. Seluruh bangunan dibangun dari campuran lumpur, tanah, dan batu. Di sepanjang lorong yang mengelilingi stupa utama ada 21 stupa kecil berbentuk trapesium yang dipahat dengan indah. Kabarnya di dalam tiap stupa ini tersimpan abu jenazah pendeta Buddha paling sohor pada zamannya.
Kabar itu dibuktikan oleh Sir John H Marshall, arkeolog Inggris yang memandori penggalian arkeologi di seluruh Taxila. Ia sempat membongkar puncak stupa kecil itu untuk menemukan abu pendeta. Abu dan tempat abunya kini ada di Museum Taxila, tak jauh dari Jaulian. Selain stupa kecil, lorong juga dipenuhi oleh relung-relung tempat bertapa para pendeta. Di salah satu sudut stupa utama, terpahat di dindingnya arca Buddha 'penyembuh'. Arca ini punya keunikan pada bagian pusarnya, tampak sebagai lubang dangkal sedalam satu buku jari.
Di stupa Jaulian ini saya juga menemukan relief arca Buddha yang kurus kerempeng. Relief ini terpahat di stupa-stupa kecil yang mengelilingi stupa utama Jaulian. Buddha dipahatkan benar-benar kurus dengan garis-garis yang menyatakan tubuh Buddha yang sedang bertapa.
Yang paling unik dari stupa Jaulian adalah gaya arca Buddha-nya. Ciri mencolok tampak pada hidungnya yang mancung. Atribut hidung ini menyimpan cerita tersendiri. Ceritanya bisa dirunut pada tahun 326 sebelum masehi. Ketika Aleksander Agung dari Macedonia secara sistematis menyerang dan merebut satu demi satu wilayah di Eropa, Timur Tengah, Iran, sampai ia masuk ke India.
Taxila, yang terletak di tengah rute perdagangan Jalur Sutera antara India dan Cina, adalah salah satu pintu gerbang utama ke India. Puluhan ribu pasukan Aleksander tak butuh waktu lama untuk bisa membuat Raja Taxila saat itu, Ambhi, bertekuk lutut. Sebelum itu, Taxila adalah salah satu daerah taklukan Persia, sejak Darius duduk di tahta salah satu peradaban tertua dunia itu pada sekitar 518 sebelum masehi. Murid filsuf sohor Aristoteles ini lantas menempatkan wakilnya di Taxila. Ia sendiri meneruskan invasi ke Punjab, sebelum akhirnya mundur gara-gara pasukannya sudah bosan bertempur.
Penaklukan Aleksander tidak sekedar kekuasaan. Dia juga berperan sebagai duta kebudayaan. Ia mengawinkan beragam kebudayaan dari daerah yang ditaklukanya dengan daerah asalnya. Nama kebudayaan ini Hellenisme, yang membawa pedoman kebudayaan Yunani Kuno. Hellenisme juga merupakan campuran dari tiga kebudayaan besar yang disinggahi Aleksander, yaitu Macedonia, Yunani, dan Persia.
Hellenisme ditularkan lewat prajurit-prajurit Aleksander. Ia mengumpulkan pendukungnya yang murni bekerja sebagai tentara dan yang tadinya bermatapencarian lain, seperti tukang-tukang batu. Tentara tukang ini lantas menikahi perempuan setempat dan mereka menetap sebagai warga di daerah taklukan Aleksander, termasuk Taxila dan kembali ke profesi awalnya. Dari situ, perlahan-lahan kebudayaan Hellenisme bawaan Aleksander beradaptasi dengan kebudayaan lokal. Taxila adalah salah satu contohnya. (rn)
sumber : perempuan.com