
Sumba ternyata bukan sekadar padang sabana, yang akrab dengan ringkikan kuda sandel. Juga, bukan sekadar menawan mata ketika kaum pria mempertontonkan kemahiran berkuda, dengan tubuh duduk tegap di punggung kuda mengiring ternak gembalaannya.
Pulau yang dikenal sebagai Pulau Sandelwood ini menyimpan situasi kontras yang tampak di Waikabubak, Ibukota Kabupaten Sumba Barat. Sepintas, kota ini tak berbeda dengan kota kabupaten lain di NTT. Sejumlah ruas jalan sudah licin berlapis hotmix, yang meliuk-liuk di bawah perbukitan. Namun, kalau kaki berbelok arah untuk menapaki bukit, di sana akan ditemui kehidupan dengan deretan rumah tradisional yang seolah tak terjangkau perubahan zaman.

Rumah tradisional Sumba terdiri dari tiga bagian. Lantai paling dasar merupakan kandang ternak (kuda). Kemudian, lantai dua merupakan tempat keluarga, tempat tidur dan perapian terletak persis di bagian tengah. Sedangkan, bagian menara merupakan gudang atau tempat menyimpan persediaan pangan.
Nuansa masa lalu kian sempurna ketika rumah tradisional itu berpadu dengan kuburan batu, yang mengingatkan kehidupan masa megalitikum—zaman batu besar—salah satu babak zaman prasejarah. Tak salah lagi, Sumba merupakan sorga bagi peneliti megalit.
Di setiap sudut kota dan kampung begitu mudah Anda menemukan menhir—batu besar seperti tiang atau tugu yang ditegakkan di tanah, sebagai tanda peringatan dan lambang arwah nenek moyang. Begitu juga dolmen—monumen prasejarah berupa meja batu datar yang ditopang tiang batu, dalam berbagai ukuran sangat mudah dijumpai di setiap kampung.

Meski tanpa pengakuan dari negara, komunitas Marapu tetap eksis dalam menjalankan upacara keagamaan, termasuk upacara kelahiran, perkawinan, kematian, dan syukuran. Bahkan, komunitas Marapu di wilayah Kota Waikabubak mengenal adanya wula podu (bulan suci) selama satu bulan sekitar Oktober dan November setiap tahun.
Upacara perkawinan tidak kalah menyimpan daya tarik. Namun, ini membutuhkan keberuntungan wisatawan untuk menyaksikan upacara perkawinan, terutama ketika terjadi pembicaraan mengenai belis (mas kawin). Sebab, belis dalam rupa ternak itu bisa mencapai puluhan ekor kuda, kerbau dan sapi yang harus diserahkan ke keluarga perempuan. Apalagi, kalau perkawinan itu melibatkan kaum “darah biru”.
Selain upacara wula podu, komunitas Marapu di Sumba Barat juga mempunyai upacara adat pasola, yang sangat atraktif. Sama dengan wula podu, pagelaran pasola dilakukan berdasarkan perhitungan kaum tetua adat. Hal ini menjadi kendala tersendiri bagi wisatawan untuk merencanakan perjalanan.
Pasola merupakan perang berkuda yang melibatkan dua kelompok besar pasukan berkuda dan saling menyerang dengan senjata lembing kayu. Pasola digelar sekali dalam setahun, antara Pebruari dan Maret di empat wilayah di Sumba Barat, yakni di Wanokaka, Lamboya, Gaura dan Kecamatan Kodi.

Pulau Sumba sesungguhnya bukan hanya menawarkan wisata budaya. Pesona alamnya pun tak kalah memikat. Setelah letih menyaksikan objek budaya, wisatawan bisa menyegarkan diri dengan menyaksikan air terjun di Weikelo Sawah, sekitar 9 km dari Waikabubak. Air terjun yang pernah dimanfaatkan sebagai sumber listrik itu menawarkan panorama yang alami, dengan sumber air dari gua yang cukup besar. (rn)
Sumber : Perempuan.com/liburan.info
0 komentar:
Posting Komentar