Rabu, 27 Mei 2009

Hangzhou Bukan Hanya West Lake


Bagi Anda yang pernah dengar nama Hangzhou, sebuah kota pariwisata yang sangat terkenal di mainland China, pasti yang pertama terbesit di benak Anda adalah indahnya panorama Xi Hu alias West Lake yang terkenal itu beserta ikon-ikon terkenal di sekitarnya: pagoda Lei Feng Ta (tempat mengurung sang Siluman Ular Putih), Duan Qiao (Broken Bridge, tempat nyonya Ular Putih pertama kali bertemu dengan suaminya), dsb.

Namun Hangzhou bukan hanya Xi Hu atau Lei Feng Ta, masih banyak tempat pariwisata menarik lainnya, yaitu Long Jing (The Dragon Well, tempat asalnya teh Longjing yang terkenal itu), Ling Yin Si (kompleks biara terkenal yang pernah ditinggali biksu nyentrik Chi Kung), Hangzhou Silk Museum, Xi Xi Wet Land (alamnya luar biasa indahnya, seperti masuk ke sebuah suaka margasatwa atau cagar alam saja), dsb.

Memanfaatkan libur seminggu ini, bukan dalam rangka Lebaran (soalnya of course pemerintah China nggak ngerayain Lebaran), namun dalam rangka peringatan Hari Negara, kemarin (2 Oktober 2008) saya dan Ella pergi jalan-jalan ke Song Cheng (Song Dynasty Town), sebuah kompleks taman hiburan yang terletak di bagian barat Hangzhou. Yang membuat saya penasaran dengan tujuan pariwisata ini adalah, menurut Ella (yang pernah menyambangi tempat itu sampai 2 kali), Song Cheng sengaja ditata dengan tema kota Hangzhou zaman dinasti Song Selatan (1127 – 1276 M).

Sekedar informasi, kota Hangzhou pernah “ketiban sampur” jadi ibukota kekaisaran China pada zaman dinasti Song Selatan. Saat itu, bangsa barbar Jurchen di utara menyerbu China utara dan bahkan berhasil menduduki ibukota Bianjing (sekarang kota Kaifeng di provinsi Henan). Kaisar Song terpaksa melarikan diri ke selatan, yaitu ke kota Hangzhou yang ada di selatan sungai Yangzi dan mendirikan kelanjutan dinasti Song di China selatan (itulah sebabnya mengapa disebut Song Selatan).

Nah, kembali ke Song Cheng. Karena hari libur, Song Cheng dipadati oleh ribuan gundhul manusia. Agaknya momen liburan tidak disia-siakan oleh orang China. Semua tempat wisata diserbu pengunjung. Jalanan macet, dan bis-bis umum dipenuhi oleh manusia. Tak terkecuali bis yang saya tumpangi bersama Ella. Berangkatnya masih mending, dapat kursi. Setelah ganti bis di Zheda Fuzhong (itupun salah halte, karena seharusnya di Hupao pun sudah bisa ganti bis, namun kami malah turun di 6 halte setelahnya), kami harus rela berdiri dan berdesak-desakan dengan orang China lainnya. Meski jarang ada pencopet atau jambret di bis, untuk amannya dompet saya masukkan ke saku jaket di depan, kamera di tas kecil, dan kamus elektronik di tas Ella. Alhamdulillah, barang-barang kami aman selama perjalanan sampai kembali ke asrama.

Melihat Atraksi Zaman Baheula

Sekitar jam 1 siang kami sampai di Song Cheng. Tiket masuknya 80 RMB per kepala (sekitar 108 ribu rupiah). Lumayan, saya pikir. Tidak terlalu mahal untuk sebuah kompleks taman hiburan terkenal.

Namun harga tiketnya memang sepadan dengan apa yang saya dapatkan. Pengelola taman hiburan itu memang tidak asal pasang harga. Semua yang ada di dalam Song Cheng benar-benar ditata seperti layaknya kota Lin’an (nama kuno Hangzhou saat masih jadi ibukota kekaisaran) zaman dahulu kala. Rumah-rumah dan kedai di sepanjang jalan didesain seperti rumah China kuno, bahkan pelayan-pelayan kedai makanan dan penjaja pernak-pernik di dalamnya juga berpakaian ala dinasti Song. Yang lebih membuat saya hanya bisa geleng-geleng kepala adalah ada juga prajurit penjaga gerbangnya..! Dua orang pria muda sengaja didandani dengan kostum prajurit zaman dulu, lengkap dengan helm perang dan tombak di tangan. Mereka nampang terus seharian di sisi pintu gerbang, tanpa ekspresi. Layaknya Mr. Bean yang hobi jeprat-jepret dengan guard di Buckingham Palace, para pengunjung pun nampang di sisi si penjaga gerbang yang tetap cool dan tanpa ekspresi. Saya? Enggak deh… Penjaganya serem ah..

Tidak hanya berdiri saja, ada beberapa orang penjaga yang berpatroli keliling gerbang. Ketika saya masuk ke gerbang kota, dari belakang terdengar suara orang meminta kerumunan untuk memberi jalan. Ketika menengok ke belakang, ternyata beberapa orang prajurit tengah berpatroli sambil menunggang kuda. Kuda beneran. Kami pun segera menyingkir daripada dicium moncong kuda.

Sebenarnya, sebelum melihat aksi penjaga yang nampang dengan cool-nya, saya dan Ella terlebih dulu menyaksikan atraksi jalanan ala zaman baheula. Sebuah rombongan pemain akrobat berlaga di atas panggung yang sengaja disiapkan untuk mereka, terdiri dari seorang gadis belia, seorang pria hampir paruh baya (yang juga adalah pimpinan rombongan), seorang remaja muda, dan seorang lagi menabuh alat musik di belakang. Sang pemimpin rombongan membuka atraksi mereka dengan salam perkenalan ala pendekar zaman dahulu, termasuk menjura dengan dua tangan di depan dada. Ia menjelaskan atraksi yang akan mereka lakukan, dan mewanti-wanti “don’t try this at home” (dengan bahasa Mandarin, tentunya).

Penasaran dengan promosinya, saya dan Ella langsung mendekat ke panggung yang di sekelilingnya banyak penonton sudah ramai berkumpul. Atraksi pun dibuka oleh seorang gadis manis yang masih muda (belasan, mungkin) dengan kostum yang tak kalah menarik (bukan kostum seksi lho… harap jangan berpikiran ngeres, apalagi ini kan Lebaran.. hehehe). Ia membaringkan diri di atas sebuah bangku kayu mirip pelana kuda (kalo saya boleh bilang), yang sengaja didesain khusus untuk atraksinya. Ia mengangkat kedua kakinya lurus ke atas, dan rekan-rekannya yang lain segera menaruh sebiji guci tanah liat di atas kedua telapak kakinya. Dengan ahlinya, ia segera memain-mainkan guci tanah liat itu, memutar-mutarnya seperti gasing saja, hanya dengan bantuan kedua kakinya yang lurus ke atas. Tidak hanya berhenti di situ, ia melakukan hal yang sama dengan sebuah meja kayu yang lumayan besar. Wow…

Setelah atraksinya selesai, giliran jatuh ke remaja muda yang juga ikut dalam rombongan mereka. Mengenakan bantalan pengaman di ubun-ubunnya, ia segera memulai aksinya. Ada sebuah peralatan atraksi yang lain, yang memiliki trap-trap seperti anak tangga. Si remaja kecil ini segera jungkir balik dan menaruh kepalanya di atas trap yang paling rendah. Bantalan di ubun-ubunnya memang sengaja dipasang untuk melindungi kepalanya yang masih belum keras (kayak saya, keras kepala), dan juga membantu menjaga keseimbangan. Satu-persatu trap-trap itu ia lompati dengan kepalanya. Hop.. hop.. sesuai dengan aba-aba si ketua rombongan. Saya jadi berpikir sendiri, apa nggak sakit ya kepalanya itu?

Begitu sampai di trap yang paling atas, remaja kecil ini tidak lantas berhenti: ia bermain lompat tali dengan kepalanya..! Kalau orang normal melompat-lompat memakai kaki, ia memakai kepalanya. Bukan hal yang mudah dilakukan, dan bisa pusing tujuh keliling delapan hari sembilan malam kalau orang macam saya nekat mencobanya.

Si ketua rombongan tak mau kalah. Setelah anak buahnya selesai beratraksi, giliran dia yang maju. Mengenakan peralatannya sendiri, berupa sebuah cawan kecil yang ia ikatkan ke kepalanya dengan ikat karet, ia melempar-lemparkan tiga butir telur, namun telur bukan sembarang telur. Telurnya dibuat dari batu. Kalau dilempar kena kepala bukan telurnya yang pecah, tapi..?

Setelah melempar-lempar telur-telurnya ala sirkus, ia melempar sebutir ke atas, lantas menangkapnya dengan cawan yang diikatkan ke dahinya itu. Satu persatu ia lemparkan ke atas, dan semuanya berhasil ia tangkap dengan sukses. Ah, biasa saja, menurut saya.

Tahu kalau penonton belum puas, ia lantas menuju ke atraksi selanjutnya, yang juga adalah atraksi terakhir mereka. Enam potong balok kayu yang cukup tebal ditata melingkar, mengelilingi tubuh manusia. Satu di antara kedua paha, dua di bawah ketiak, dan tiga di sekitar kepala. Si ketua rombongan menyiapkan enam batang kapak besi (bukan kapak merah lho, meskipun gagangnya berwarna merah). Untuk membuktikan bahwa kapak itu asli, bukan kapak-kapakan atau minyak cap Kapak (halah…), ia mengadu senjata tajam itu sampai keluar bunyi logam beradu, lantas melemparkannya satu persatu ke balok-balok kayu itu. Penonton di belakang balok kayu diminta menyingkir, kalau-kalau lemparannya salah sasaran. Wah, agak ngeri juga tuh.

Kemudian ia meminta seorang sukarelawan untuk naik ke atas, untuk membuktikan sendiri ketajaman kapak itu. Seorang pria pun naik ke atas. Namun yang terjadi, ternyata ia ditaruh di antara balok-balok itu, sebagai sasaran tembak. Kontan saja ia segera minta turun ke panggung, namun dicegah oleh anggota rombongan yang lain. Apa boleh buat, sudah terlanjur naik ke atas, ia pun merelakan dirinya jadi sasaran lemparan kapak.

“Jangan banyak bergerak, kalau salah lempar nggak tanggung lho..”kata si ketua rombongan. Ekspresi wajah sang sukarelawan sudah pucat pasi. Apalagi dibilang bahwa, “tingkat ketepatan sasaran atraksi ini 60 %”. Sang sukarelawan langsung mencoba ngacir, namun tetap dicegah. Akhirnya, sambil pasrah dan berdoa (berdoa apa nggak ya? saya nggak tahu dia komunis apa bukan), ia pun hanya bisa harap-harap cemas ketika si ketua rombongan melemparkan kapaknya satu-persatu.

Namun untunglah, atraksi kali itu sukses, tidak ada yang cedera. Di tengah applause meriah dari para penonton, si ketua rombongan pun mohon diri sambil mengucapkan terimakasih. Tidak seperti yang saya kira sebelumnya, ternyata penonton tidak dimintai sumbangan seperti yang sering saya lihat di film-film kungfu di TV.

Atraksi Utama: Theatrikal

Namun atraksi utama bukanlah panggung jalanan yang saya saksikan barusan. Ella bilang, ke Song Cheng belum genap rasanya kalau belum menyaksikan pertunjukan theater. Ya sudah, ayo kita beli tiketnya.

Alamak..! Terkejut saya ketika melihat harga tiket masuknya. 100 RMB per kepala! Itu artinya 135 ribu rupiah hanya untuk nonton theater yang hanya main satu jam lamanya. Waduh, kok mahal ya? Pertamanya saya berpikir untuk mengurungkan niat saya. Namun karena Ella berani menjamin bahwa saya bakalan nyesel kalau sampai jauh-jauh datang namun tidak menyaksikan yang satu ini, saya pun tutup mata sambil mengeluarkan uang 100 RMB dari kocek.

Tepat jam setengah 3 siang, pertunjukan dimulai. Ada 4 pintu masuk berbeda ke dalam theater, dan antrian panjang sudah berjubel di depannya. Pemandangan umum pun segera muncul, yaitu orang-orang China saling berebut masuk dan memotong antrian. Belum lagi kalau ada yang buang ludah sembarangan. Meibanfa. Apa boleh buat…

Theater itu lumayan besar, cukup dimuati lima sampai enam ratus orang, mungkin lebih. Hari itu penonton lumayan banyak, namun semuanya kebagian tempat duduk. Setelah semuanya dapat kursi, pertunjukan pun dimulai.

Ada banyak scene yang mereka tampilkan. Keseluruhan ada 6. Scene pembuka menampilkan dua orang badut China dengan aksi konyol mereka. Mereka berdua mencoba mengisi ember dengan air, namun embernya digantung di atas tiang tinggi. Setelah selesai mengisi ember, si badut pun turun, namun tidak sengaja menyengol tiangnya dan embernya jatuh ke arah penonton. Penonton di bangku depan pun kaget, namun mereka tertipu karena ternyata embernya tidak ada airnya. Dengan puas karena sudah berhasil mengecoh penonton, kedua badut itu pun masuk ke dalam.

Melongok Kehidupan Zaman Kuno: Enaknya Jadi Kaisar

Scene pertama dimulai. Ceritanya bertemakan zaman prasejarah, ketika orang masih berbaju kulit hewan dan bertopi bulu burung. Mereka menari-nari dan beratraksi layaknya manusia zaman kuno yang masih sering lompat-lompatan di atas pohon. Aksi singkat ini hanya berlangsung tidak sampai 10 menit.

Selanjutnya, scene kedua dimulai. Ceritanya tentang perayaan ulangtahun para kaisar dinasti Song. Sebagai pembuka. para biksu ditampilkan sedang duduk bersila sambil membaca doa sementara di belakangnya, sang Buddha memancarkan sinarnya dengan gemilang.

Kemudian tanpa kami sadari, dari tengah deretan bangku penonton, para penari cantik sudah berbaris rapi berurutan. Mereka mengenakan kostum selir kaisar, dan kemudian dengan moleknya berjalan ke arah panggung. Ketika sampai di panggung, tabir pun terbuka dan nampaklah tahta singgasana kebesaran kaisar lengkap dengan segala pernak-perniknya, juga dengan para dayang dan kasim yang siap melayani sang maharaja. Kaisar dan permaisurinya pun masuk dan segera menempati singgasana mereka. Sang kasim lantas mempersilakan kaisar untuk memulai acara ulang tahunnya.

Para duta besar negara sahabat datang untuk memberikan ucapan selamat, sambil menyuguhkan atraksi dari negeri mereka masing-masing. Namun pertama-tama, tarian dari negeri sendiri yang dipertunjukkan. Para penari lengkap dengan lengan baju yang sangat panjang, yang juga jadi selendang, menari dengan indahnya seperti peri-peri kahyangan. Saya hanya bisa berdecak kagum sambil senyum-senyum sendiri. Sang kaisar? Hanya elus-elus jenggot di atas kursinya.

Tarian kedua pun dipertontonkan. Kali ini dari timur tengah. Para penari berdandan ala belly dancer dari timur tengah, lengkap dengan mahkota bulu merak di atas kepala mereka. Diiringi musik rebana dan gambus, mereka pun meliuk-liukkan pinggangnya yang seksi nan ramping itu mengikuti irama musik. Kemudian tempo musik berubah cepat, dan main dancer segera menunjukkan kebolehannya. Bergoyang-goyang pinggul ala belly dance di tengah iringan disco padang pasir. Wooow…. (sekali lagi, karena Lebaran, dilarang berpikir ngeres lho ya…) Sang kaisar? Lagi-lagi hanya elus-elus jenggot di atas kursi singgasananya.

Setelah puas dihibur dengan tarian padang pasir, lampu panggung pun dimatikan dan tiba-tiba tepat dari muka deretan bangku terdepan, muncullah dua orang gadis dengan baju ketat mempertontonkan kelenturan tubuh mereka. Seorang penari berdiri di atas kepala penari yang lain sambil menyunggi candlestick di atas kepalanya, dengan lilin-lilin asli yang menyala. Sementara itu, beberapa penari lain menari di sekeliling mereka, juga sambil membawa lilin-lilin yang menyala. Menyatukan keindahan tarian China dengan aksi akrobatik. Woooww.. lagi.
Scene kedua pun ditutup dengan atraksi para dayang istana memberi hormat kepada penonton dengan merentangkan kedua tangannya, dan berharap supaya para penonton sekalian selalu dianugerahi kesehatan, kemakmuran dan umur panjang. Kemudian tirai pun ditutup, dan scene ketiga dimulai.

Pertempuran Besar

Sebelum memulai scene selanjutnya, penonton diberi sedikit pengenalan lewat film dokumenter pendek tentang kerasnya sejarah yang pernah menerpa kota Hangzhou (saat masih bernama Lin’an, tentunya). Sebagai ibukota, kota ini selalu mendapat serangan dari bangsa barbar yang hendak menguasai China. Pertempuran demi pertempuran, dan ribuan, puluhan ribu, bahkan ratusan ribu nyawa pernah melayang demi merebut atau mempertahankan kota ini.

Tirai pun dibuka, dan nampak para prajurit berbaris rapi dengan tombaknya di muka gerbang ibukota, bersiap menahan serbuan musuh. Mereka mempertontonkan kemampuan bertempur mereka untuk membela negara. Kemudian, prajurit bertameng maju ke muka, dan bersiap-siap menghadapi serangan.

Tiba-tiba, di depan kami, para barbar penyerbu muncul dari bawah panggung, dikerek ke atas. Mereka bersenjatakan senjata pentung dan juga meriam. Setelah menembakkan meriam, mereka pun menyerbu kota yang mulai dikepung api. Tak kenal ampun, satu persatu prajurit penjaga kota dibantai dengan kejamnya. Akhirnya, sang panglima pun turun tangan mempertahankan kota. Satu persatu musuh yang hendak naik ke atas tembok gerbang ia lawan dan tak satupun berhasil menerobos pertahanannya.

Kemudian muncul prajurit berkuda. Hebatnya, benar-benar kuda hidup yang mereka tunggangi di pertunjukan ini. Meski tidak beratraksi macam-macam, namun saya cukup tertegun. Benar-benar total. Kemudian, para prajurit yang tadi pun keluar lagi. Bersiap menghadapi serbuah musuh, mereka pun maju menerima serangan. Namun, ratusan anak panah segera menyambar tubuh mereka, dan mereka pun tewas terkapar. Ketika sang panglima tengah sekarat, datanglah sang istri tercinta, mencari suaminya di tengah medan laga. Namun yang ia jumpai, suaminya tengah meregang nyawa. Dengan sedih, ia pun mencoba membawa pergi tubuh suaminya itu, namun apa daya, ia tak punya cukup tenaga untuk melakukannya.

Akhirnya, dengan tenaga yang tersisa, para prajurit mencoba meneruskan pertempuran. Mereka pun dengan gagahnya mencoba untuk kuat, dan kemudian muncullah sang jenderal pemberani, Yue Fei. Scene ketiga pun berakhir.

Romantisme Legenda Rakyat

Setelah tabir kembali dibuka, para penari – kali ini berkostum hijau dan kuning – muncul sambil membawakan tarian-tarian dengan tema indahnya pemandangan Hangzhou. Untuk membuat cerita semakin nyata, air pun dipancurkan dari bagian atas panggung dan hampir membasahi deretan bangku paling depan. Dalam hati saya berpikir, untung tidak membeli tiket front seat. Namun saya kecele, karena dari atas kami tiba-tiba juga disemprotkan air. Wah, dikerjain nih…

Semprotan air itu bukan tanpa maksud. Adegan selanjutnya mengambil cerita dari legenda terkenal yang “konon katanya” pernah terjadi di Hangzhou, yaitu Legenda Ular Putih. Dikisahkan, waktu perayaan Qingming, hujan turun dengan derasnya di danau barat, sementara siluman ular putih dan adiknya, siluman ular hijau yang tengah menyamar menjadi sepasang gadis cantik dan molek, tengah berjalan-jalan menikmati keindahan. Mereka pun kebingungan mencari payung, dan pada saat yang sama muncullah sang sastrawan ganteng, Xu Xian, menawarkan payungnya pada mereka. Jadilah sepasang insan itu bertemu di jembatan Duan Qiao alias jembatan patah yang terkenal itu. (Konon kabarnya, muda-mudi yang tengah berpacaran kalau bisa berjalan sampai melewati Duan Qiao, cintanya akan langgeng. Mau coba?) Aksi panggung mereka diiringi lagu soundtrack serial TV jadul “White Snake Legend” yang sudah sangat familiar di telinga saya (di telinga Anda juga, agaknya, karena dulu pernah diputar di SCTV sekitar tahun 90-an).

Karena siluman dan manusia tidak boleh bersatu, mereka pun dipisahkan oleh kehendak langit. Bai Suzhen, sang siluman ular putih, marah karena dipisahkan dari suaminya lantas mencoba menenggelamkan kuil Jin Shan milik biksu Fa Hai. Sayangnya, sang biksu yang sakti berhasil mengalihkan air bah itu, yang malah balik menenggelamkan kota Hangzhou dalam banjir bandang. Karena kesalahannya, akhirnya Bai Suzhen dikurung di kuil Lei Feng.

Legenda kedua adalah legenda lain yang telah mendunia, tidak mungkin kalau Anda sampai tidak tahu, yaitu legenda Sampek-Engtay (Liang San Bo – Zhu Ying Tai). Sepasang penari – laki-laki dan perempuan – menari dengan indahnya di tengah iringan musik yang juga pernah menjadi soundtrack film layar lebar “Liang Zhu” (dibintangi oleh Nicky Wu kalau tidak salah). Penari-penari lainnya dengan kostum kupu-kupu menari di sekeliling mereka. Ceritanya, setelah Engtay bunuh diri karena ditinggal mati kokoh Sampek, mereka berdua kemudian berubah menjadi kupu-kupu dan terbang beriringan. Pancaran background lighting berupa sinar-sinar laser yang berwarna-warni menambah indahnya aksi panggung mereka. Tak puas di situ, sepasang penari utama itu bergelantungan dengan bantuan kain yang panjang dan berputar-putar di atas panggung, dengan pose akrobatik yang luar biasa indahnya. Yang membuat hadirin lebih bertepuk tangan lagi, selama bergelantungan di atas itu, “Engtay” hanya berpegangan pada “kokoh Sampek” dengan bantuan sebatang tongkat berputar yang ia gigit dengan giginya. Mungkin ingin memperagakan adegan ciuman, namun dibuat lebih dramatis dan artistik. Memang spektakuler.

Kota Internasional

Scene terakhir dibuka dengan introduksi singkat, memperkenalkan Hangzhou sebagai kota internasional karena di dalamnya berkumpul banyak sekali orang dari penjuru dunia. Sebagai tarian pembuka, beberapa orang gadis pemetik the menari dalam tema “Long Jing Tea”. Ada juga beberapa orang gadis cantik dengan bodinya yang mulus membawa cawan teh Long Jing (asli atau tidak, saya nggak tahu), kemudian berjalan ke bangku VIP di tengah, dan memberikan teh di tangan mereka kepada penonton. Ooo, jadi itu rupanya kenapa harga tiket bangku VIP lebih mahal 80 RMB dari tiket saya.

Tarian berikutnya adalah tarian India. India? Kok India ya? Entah apa alasannya, tetap saja tarian yang mereka suguhkan sangat menarik. Saya jadi ingat film-film Bollywood, hanya saja para penari di sini matanya sipit dan perutnya lebih ramping. Tetap saja, goyang pinggul, kedipan bulu mata dan lambaian tangannya seperti aslinya di tepi sungai Gangga sono. Tariannya singkat, hanya 3 menit, namun cukup membuat saya terpukau.

Selanjutnya, giliran tarian dari negeri Ginseng. Kata intro, namanya “Arirang”, namun saya tidak tahu apa benar atau tidak. Para gadis berbaju Hanbok dengan gendang mereka masing-masing memadu gerak dan irama tabuhan dengan indahnya. Gerakan lembutnya sangat kontras dengan tarian India yang barusan selesai.

Setelah menari selama 2 menit, giliran para penari pria yang keluar. Mereka mengenakan kopiah dengan tali yang bisa berputar-putar di atas kepala mereka. Dengan liukan kepalanya, mereka membuat tali itu berputar dalam lingkaran. Apa nggak capek ya lehernya? Tarian pun ditutup dengan Buchaechum, di mana para penari wanita yang berbaris melingkar serentak membuka kipas mereka dan nampak seperti bunga anggrek yang tengah mekar. Wah… indahnya…

Dan, aksi theatrikal mereka pun berakhir, dengan semua penari melakukan curtain call, memberi hormat kepada penonton yang membalasnya dengan applause meriah.

Jalan-jalan Lagi

Puas menonton theater yang memukau, kami melanjutkan lagi jalan-jalan di kota kuno itu. Ella yang harus ke kamar kecil meminta saya menunggu di luar. Sewaktu menunggu, ada keramaian yang berkumpul di bawah balkon sebuah rumah bergaya China kuno. Ternyata, baru ada acara mencari jodoh.

Seorang hartawan kaya berdiri di balkon rumahnya, mengumumkan pada khalayak ramai bahwa ia sedang mencari menantu untuk putrinya yang cantik. Putrinya nanti akan melemparkan bola kain ke arah kerumunan, dan pria manapun yang berhasil menangkapnya akan dijadikan menantu. Kemudian sang nona pun muncul, dan dengan malu-malu melemparkan bolanya. Seorang wisatawan yang berhasil menangkap bola itu kemudian digiring masuk dan didandani seperti seorang Xin Lang (pengantin pria). Mereka pun kemudian “dinikahkan”. Setelah upacara selesai, hartawan itu kemudian mengucapkan terimakasih pada penonton, dan masuk bersama anak dan “menantu”nya. Entah apa yang terjadi kemudian di dalam pada pasangan pengantin baru itu ya…? (sekali lagi, dilarang ngeres…!)

Setelah berputar-putar, kami pun sampai ke “jalan aneh”. Mengapa disebut demikian? Ternyata ada rumah-rumah “aneh” di dalamnya. Ada rumah miring (interiornya sengaja dibuat miring, saya pun jadi agak mabok di dalam), rumah “terbalik” (interiornya dibuat terbalik, meja dan kursi dilekatkan ke atap dan lukisan dipajang terbalik), rumah mendatar (interiornya ditata miring 90 derajat, meja dan kursi diletakkan di dinding), rumah kaca, rumah bayangan hantu, dsb. Kami pun mencoba satu-persatu. Asyik juga.

Tak terasa, hari pun sudah beranjak sore. Kami harus cepat mengejar bis kalau tidak mau kemalaman. Hari itu rasanya senang sekali, bisa jalan-jalan mengenang romantisme zaman kuno, dan menyaksikan pertunjukan yang sangat indah dan berkesan di hati. Kapan-kapan, pasti saya akan datang lagi..!

Penulis & Fotografer : Michael W - Hangzhou, China
Sumber : Kompas Community/liburan.info

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright 2008 All Rights Reserved | Blogger Template by Bloganol and Smart Blogging Tips