Rabu, 27 Mei 2009

Taxila, Pakistan; Menyimpan Bukti Kekejaman Attila

0 komentar

Bangunan itu masih kokoh berdiri di sebuah puncak bukit di kota Taxila, sekitar 35 kilometer sebelah barat ibukota Pakistan, Islamabad. Padahal ia didirikan pada tahun 200 Masehi. Batu-batu berwarna krem dan abu-abu ditumpuk rapi menjadi dinding kompleks bihara dan stupa Jaulian. Bihara dan stupa ini pada masanya pernah menjadi sekolah paling beken untuk belajar tentang Buddha.

Situs Jaulian dirawat dan dipelihara pemerintah Pakistan bekerja sama dengan badan PBB, Unesco. Ia masuk ke dalam satu kompleks peradaban yang lebih besar, peninggalan Kerajaan Taxila, yang sudah berdiri sejak abad kelima sebelum Masehi. Jaulian sudah mengalami banyak hal. Dari masa kejayaan sebagai tempat belajar biksu-biksu terpilih, hingga masa kehancuran akibat diserbu suku Hun dengan pemimpin mereka yang legendaris, Attila. Suku yang gemar perang dari Asia tengah ini meringsek Taxila, menjarah, dan membakar kompleks stupa dan bihara Jaulian hingga ludes.

Salah satu bukti kekejaman mereka masih disimpan di Jaulian. Sebuah arca Buddha berwana krem yang sebagian sudah lumer akibat panas pembakaran kompleks bangunan agama ini. Arca itu sengaja disimpan dalam sebuah kotak di tengah bangunan bihara dan hanya sesekali dibuka. Situs keagaaman selalu menyimpan suasana mistis, apapun agamanya. Suasana ini bisa Anda rasakan di masjid kuno, gereja peninggalan kolonial, candi Buddha dan candi Hindu, sampai pada bangunan punden berundak.

Di Jaulian suasana mistis itu kental terasa. Begitu saya melewati pintu gerbang stupa yang terbuat dari kawat, yang memisahkan kompleks bihara dan stupa, bulu kuduk langsung berdiri.Takut? Tidak. Situs Jaulian sama sekali tidak seram. Tapi entah kalau malam hari. Di siang hari pertengahan Februari lalu itu, dengan cuaca cerah, matahari terang, langit tanpa awan, angin dingin semilir membelai kulit, Jaulian bukan menampakkan wajah seramnya. Hanya wajah hening sebagai sebuah situs pemujaan.

Stupa Jaulian adalah sebuah bangunan berwarna krem segi empat dengan lorong yang menyambung di tiap sisinya. Dinding bangunan dipahat relief Buddha. Seluruh bangunan dibangun dari campuran lumpur, tanah, dan batu. Di sepanjang lorong yang mengelilingi stupa utama ada 21 stupa kecil berbentuk trapesium yang dipahat dengan indah. Kabarnya di dalam tiap stupa ini tersimpan abu jenazah pendeta Buddha paling sohor pada zamannya.

Kabar itu dibuktikan oleh Sir John H Marshall, arkeolog Inggris yang memandori penggalian arkeologi di seluruh Taxila. Ia sempat membongkar puncak stupa kecil itu untuk menemukan abu pendeta. Abu dan tempat abunya kini ada di Museum Taxila, tak jauh dari Jaulian. Selain stupa kecil, lorong juga dipenuhi oleh relung-relung tempat bertapa para pendeta. Di salah satu sudut stupa utama, terpahat di dindingnya arca Buddha 'penyembuh'. Arca ini punya keunikan pada bagian pusarnya, tampak sebagai lubang dangkal sedalam satu buku jari.

Di stupa Jaulian ini saya juga menemukan relief arca Buddha yang kurus kerempeng. Relief ini terpahat di stupa-stupa kecil yang mengelilingi stupa utama Jaulian. Buddha dipahatkan benar-benar kurus dengan garis-garis yang menyatakan tubuh Buddha yang sedang bertapa.

Yang paling unik dari stupa Jaulian adalah gaya arca Buddha-nya. Ciri mencolok tampak pada hidungnya yang mancung. Atribut hidung ini menyimpan cerita tersendiri. Ceritanya bisa dirunut pada tahun 326 sebelum masehi. Ketika Aleksander Agung dari Macedonia secara sistematis menyerang dan merebut satu demi satu wilayah di Eropa, Timur Tengah, Iran, sampai ia masuk ke India.

Taxila, yang terletak di tengah rute perdagangan Jalur Sutera antara India dan Cina, adalah salah satu pintu gerbang utama ke India. Puluhan ribu pasukan Aleksander tak butuh waktu lama untuk bisa membuat Raja Taxila saat itu, Ambhi, bertekuk lutut. Sebelum itu, Taxila adalah salah satu daerah taklukan Persia, sejak Darius duduk di tahta salah satu peradaban tertua dunia itu pada sekitar 518 sebelum masehi. Murid filsuf sohor Aristoteles ini lantas menempatkan wakilnya di Taxila. Ia sendiri meneruskan invasi ke Punjab, sebelum akhirnya mundur gara-gara pasukannya sudah bosan bertempur.

Penaklukan Aleksander tidak sekedar kekuasaan. Dia juga berperan sebagai duta kebudayaan. Ia mengawinkan beragam kebudayaan dari daerah yang ditaklukanya dengan daerah asalnya. Nama kebudayaan ini Hellenisme, yang membawa pedoman kebudayaan Yunani Kuno. Hellenisme juga merupakan campuran dari tiga kebudayaan besar yang disinggahi Aleksander, yaitu Macedonia, Yunani, dan Persia.

Hellenisme ditularkan lewat prajurit-prajurit Aleksander. Ia mengumpulkan pendukungnya yang murni bekerja sebagai tentara dan yang tadinya bermatapencarian lain, seperti tukang-tukang batu. Tentara tukang ini lantas menikahi perempuan setempat dan mereka menetap sebagai warga di daerah taklukan Aleksander, termasuk Taxila dan kembali ke profesi awalnya. Dari situ, perlahan-lahan kebudayaan Hellenisme bawaan Aleksander beradaptasi dengan kebudayaan lokal. Taxila adalah salah satu contohnya. (rn)

sumber : perempuan.com

Pantai Krakal; Pantai Terindah Di Pulau Jawa

0 komentar

Pantai Krakal ini sebenarnya telah lama mempesona para ahli perencanaan turisme dari luar negeri. Hingga mereka menyarankan bahwa pantai ini harus dipersiapkan sebagai resort pantai, terutama bagi para turis asing (seperti turis resort Nusa Dua di Bali), yang ingin berlibur dengan menikmati indahnya pantai

Ketertarikan mereka dalam mengelola pantai Krakal ternyata didukung oleh potensi yang menarik, seperti sebuah pantai berpasir putih yang landai yang terbentang sejuh 5 km. Selalu ada matahari yang bersinar dari pagi hingga malam selama musim panas dan hujan. Angin pantai selalu berhembus dengan sepoi-sepoi yang seluruhnya bisa memanjakan para pelacong, baik dalam maupun luar negeri.

Perjalanan menuju pantai Krakal ini juga melintasi bukit-bukit kapur, diselingi dengan teras-teras batu karang. Hal ini merupakan ciri dari daerah Krakal yang dikelola penduduk. Berdasarkan penelitian geologis, pada zaman yang silam, daerah ini merupakan dasar dari lautan yang oleh proses pengangkatan yang terjadi pada kerak bumi, dasar laut ini semakin lama semakin meninggi dan akhirnya muncul sebagai dataran tinggi. Batu-batuan karang yang nampak pada waktu itu merupakan bekas rumah binatang karang yang hidup di air laut saat itu.

Pantai Krakal merupakan pantai yang paling indah, di antara seluruh hamparan pantai di sepanjang pulau Jawa. Pantai ini akan dibangun menjadi kawasan pantai dan perkampungan wisatawan, khususnya wisatawan asing, semacam tourist resort Nusa Dua di pulau Bali. Pantai Krakal, bentuk pantainya landai, berpasir putih, terhampar sepanjang lebih dari 5 km. Pantai ini menerima panas matahari dari pagi hingga petang hari sepanjang tahun. Angin laut yang terhembus sangat sejuk, ombaknya cukup besar.

Meskipun masih satu mata rantai dari kunjungan ke Pantai Baron dan Pantai Kukup, nuansa perjalanan menuju lokasi Pantai Krakal sedikit berbeda. Bahkan boleh dikatakan, Pantai Krakal memberikan gambaran seutuhnya tentang panorama pantai. Disepanjang perjalanan menuju lokasi pantai ini, terlihat keindahan pemandangan bukit-bukit kapur diselingi dengan teras-teras batu karang.

Paduan bebatuan seperti ini dikenal dengan nama daerah karst, yakni bekas dasar laut yang mengalami proses pengangkatan kerak bumi sehingga menjulang ke atas membentuk sebuah dataran tinggi. Batu-batu karang ini dulunya adalah bekas sarang/rumah binatang karang yang hidup pada saat itu. Pantai Krakal relatif landai.

Hal ini memungkinkan sinar mentari menghidupkan cakrawala perpantaian, dan angin laut berhembus dengan sejuk. Pasir putih terhampar cukup panjang di tepian pantai, yakni sekitar 5 km, seolah selalu putih bersih dibasuh oleh deburan ombak yang cukup besar.

Untuk mencapai pantai Krakal Anda harus melalui Wonosari, ibukota kabupaten Gunungkidul, sekitar 38 km dari Yogyakarta. Jalan yang berliku-liku dan menanjak sudah diaspal dengan baik. Pantai Krakal terletak kira-kira 21 kilometer dari Wonosari, lokasinya terletak sekitar 7 km ke timur dari jalan utama yang bercabang ke pantai Baron. Para ahli geologi mengatakan bahwa dahulu, tempat ini berada dibawah permukaan laut.

Di dalam karangnya, masih banyak fosil yang masih dapat ditemukan. Diantara semua pantai yang membentang di pantai Jawa, Krakal adalah yang paling indah dengan pasirnya yang putih dan dikelilingi dengan tebing-tebing. Sementara itu ombaknya yang besar dan juga buihnya yang putih memberikan nuansa lebih pada pantai ini.

Secara keseluruhan, merupakan tempat yang paling cocok untuk berjemur. Pantai ini juga menawarkan tanaman laut yang beraneka macam jenisnya dan beragam warnanya. Pantai Krakal sangat dekat dengan pantai Kukup dan Teluk Baron. Teluk ini kenyataannya adalah merupakan saluran air bawah tanah yang keluar tepat di tepi pantai. (rn)

sumber : perempuan.com

Gn. Lawu, Jateng; Gunung Magis yang Mempesona

0 komentar

Terletak di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur, Lawu memiliki panorama alam yang indah. Banyak wisatawan yang berminat khusus yang mendakinya. Gunung ini pun kerap disambangi para peziarah, karena menyimpan obyek-obyek sakral bersejarah.

Di gunung berketinggian 3.265 meter di atas permukaan laut (mdpl) ini memang menyimpan berbagai peninggalan sejarah kerajaan Majapahit seperti, Candi Ceto, Candi Sukuh yang merupakan peninggalan Raden Brawijaya selama dalam pelariannya.

Gunung Lawu adalah gunung yang dikeramatkan oleh penduduk sekitar, terutama penduduk yang tinggal di kaki gunung. Tidak heran bila pada bulan-bulan tertentu seperti Bulan Syuro penanggalan Jawa, gunung ini ramai didatangi oleh para peziarah, terutama yang datang dari daerah sekitar kaki Gunung Lawu seperti daerah Tawamangu, Karanganyar, Semarang, Madiun, Nganjuk dan sebagainya.

Peninggalan-peninggalan bersejarah itu menjadi salah satu saksi sejarah, bahwa bangsa kita sejak dahulu berbudaya tinggi, oleh karenanya patut dilestarikan karena memberi nilai lebih pada gunung ini.

Tempat yang sering didatangi oleh para peziarah selain tempat yang ada di puncak Hargo Dalem dan Hargo Dumilah adalah Sendang Panguripan dan Sendang Drajat. Konon Sendang Panguripan memiliki kekuatan supernatural. Di Sendang Panguripan ini sumber airnya sering dimanfaatkan oleh para peziarah untuk mencari kehidupan.

Mereka percaya sumber air yang ada di sana, airnya pernah dimanfaatkan oleh Raden Brawijaya ketika mendaki Gunung Lawu dan sampai sekarang masyarakat percaya bahwa air yang digunakan oleh Raden Brawijaya di Sendang Panguripan sangat berkhasiat. Sama seperti Sendang Panguripan, di Sendang Drajat pun airnya sering dimanfaatkan oleh para peziarah. Konon airnya memiliki kekuatan supernatural untuk menyembuhkan berbagai penyakit.

Disamping kaya dengan sejarah dan misteri Kerajaan Majapahit, Gunung Lawu juga kaya akan berbagai obyek wisata alam seperti objek wisata alam Tawangmangu dengan air terjun Grojogan Sewu, Telaga Sarangan dengan keindahan danaunya yang begitu mempesona. Candi Ceto dan Candi Sukuh yang merupakan Candi yang dibuat oleh Raden Brawijaya selama dalam pelarian, serta tidak kalah menariknya adalah wisata alam mendaki Gunung Lawu.

Berbagai fasilitas menuju Puncak Gunung Lawu tersedia dengan baik. Untuk mendaki Gunung Lawu terdapat beberapa rute Pendakian seperti Cemoro Kandang, Cemoro Sewu, Ceto dan Jogorogo yang memasuki wilayah Ngawi Jawa Timur. Tetapi disarankan untuk melalui jalur Cemoro Kandang. Kalau melalui Cemoro Kandang waktu yang dibutuhkan sekitar 9 sampai 10 jam perjalanan pendakian dan untuk turun dibutuhkan waktu sekitar 5 sampai 6 jam.

Jika melewati Cemoro Kandang terlebih dahulu kita akan melewati beberapa rute pendakian seperti Pos pendakian Cemoro Kandang, Taman Sari Bawah, Taman Sari Atas, Parang Gupito, Jurang Pangarif-ngarif, Ondorante, Cokro Srengenge yang termasuk Pos IV serta Pos terakhir yaitu Pos V. Di sini terdapat pertigaan, kalau berbelok ke kanan kita akan menuju Puncak Hargo Dumilah yang merupakan puncak tertinggi dengan ketinggian 3.265 mdpl dan jika lurus kita akan menuju Puncak Hargo Dalem 3.148 mdpl.

Dari puncak Gunung Lawu kita akan disuguhi peristiwa alam matahari terbit yang indah. Bila memandang ke arah Barat akan terlihat puncak Gunung Merapi, Merbabu. Dan kalau melihat ke arah Timur akan terlihat keindahan Puncak Gunung Kelud, Butak dan Gunung Wilis membentuk lukisan alam yang menawan. Jika ingin mendaki menuju Puncak Gunung Lawu yang tidak terlalu ramai sebaiknya pada hari Senin sampai Jumat.

Beberapa jenis burung bisa ditemui di kawasan Gunung Lawu, seperti Burung Anis, Perjak, Kaca Mata dan Burung Kerak. Tumbuhannya antara lain Cemara Gunung, Bunga Edelweiss, Cantigi, Pohon Karet Hutan, Beringin, Rustania dan Puspa. Bunga Edelweiss tumbuh subur terutama di lembah dan lereng Gunung Lawu, mulai dari jalur antara Pos IV dan Pos V.

Sampai sekarang, ekosistem tumbuhan dan binatang yang hidup di kawasan Gunung Lawu masih terjaga dengan baik. Karena masyarakat yang tinggal di kaki Gunung merasa takut atau memiliki anggapan bahwa jikalau hutannya dirusak, maka penguasa Lawu yakni Sunan Lawu yang tak lain adalah Sang Prabu Brawijaya, akan marah besar. (rn)

sumber : perempuan.com

Menengok Desa Wisata Adat Using

0 komentar
Jaman boleh terus bergulir, namun tidak demikian dengan pola dan gaya hidup Suku Using di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi. Desa yang berjarak sekitar 7 Km arah barat dari pusat Kota Banyuwangi itu, masih menjaga adat istiadat warisan leluhur mereka. Tak heran jika Pemerintah Kabupaten Banyuwangi sekitar tahun 1995 menetapkan desa yang berpenghuni 2663 jiwa tersebut sebagai Desa Wisata Adat.
Banyak adat Using yang masih lestari dan dipertahankan warga yang sebagian besar hidup dari bercocok tanam ini. Seperti bangunan rumah masih beraksitektur Gebyug, rumah adat Using yang memeliki ciri khas serta mempunyai filosofi kehidupan dalam berumah tangga.

Kecuali itu, pola bertani tradisonal seperti menggunakan baling-baling kayu untuk mengusir hama masih dilakukan.

Upacara perkawinan masih menggunakan tatanan adat yang diturunkan secara turun temurun, semisal upacara lamaran manten dan kirab keliling kampung yang saat ini sudah jarang ditemui dikawasan Kota Banyuwangi.

Tak ketinggalan menariknya,warga setempat memiliki beberapa acara adat yang diselenggarakan rutin tiap tahun, semisal Tumpeng Sewu atau biasa disebut warga 'Selamatan Bersih Desa' yang dilaksanakan pada hari Senin atau Hari Jumat awal di Bulan Haji.

"Insya Allah acara bersih desa tahun ini akan kami selanggarakan pada 1 Desember mendatang," tutur Pak Timbul, sesepuh Desa Kemiren saat ditemui detiksurabaya.com, Rabu (15/10/2008) pagi.

Selain memegang teguh adat istiadat dalam kesehariannya, warga Desa Kemiren yang kesemuanya mayoritas beragama Islam ini juga patuh pada ajaran agamanya.

Hubungan sosial antar warga terjalin secara kuat. "Jika ada hajatan tetangga,kami semua berduyun-duyun urun rembug materi atau sekedar tenaga," terang Pak Timbul lagi.

Sifat warga yang cenderung terbuka, ramah membuat nyaman siapa saja yang berkunjung atau bahkan menginap ke Desa Kemiren ini. Tak kurang dari puluhan wisatawan tiap bulannya berkunjung untuk belajar kearifan tradisional Suku asli Banyuwangi ini.

"Jika ingin berkunjung pintu rumah kami terbuka lebar bagi siapa saja," jelas Anak Agung Tahrim, Kepala Desa Kemiren.

Banyak sanggar-sanggar seni yang menjadi tempat belajar bagi tiap wisatawan, tak perlu bingung tempat untuk berteduh. Sebab lanjut Tahrim sebab hampir semua warga secara suka rela akan mempersilahkan pengunjung untuk tinggal di rumahnya.

Bahkan menginap untuk jangka waktu yang cukup lama, seminggu atau bahkan sebulan. "cukup bantu kami uang belanja mas," lanjutnya.

Kentalnya Budaya dan Adat di Desa Kemiren semakin lengkap dengan balutan suasana Desa yang masih Asri dengan banyaknya pepohonan yang tumbuh .

Sungai-sungai masih mengalir dengan kejernihan air asli pegunungan membelah areal persawahan yang mengelilingi Desa. Jalan Desa pun sudah beraspal meski tidak semulus jalan di pusat Kota.

Ditengah desa terdapat Anjungan Wisata seluas 1800 M2 yang awal pendiriannya sebagai pusat ajang kegiatan kesenian khas Using seperti Tari Gandrung maupun Barong. Anjungan itu kini menjadi tempat rekreasi konvensional dengan dua kolam renang yang menjadi andalannya.

Untuk terus menjaga kelestarian warisan nenek moyangnya, Pemerintah Desa menerbitkan Peraturan Desa atau Perdes tentang pelestarian Adat yang sifatnya hanya mengatur. Termasuk keberadaan Kelompok Sadar Wisata (PokDarWis) yang akan melayani dengan ramah kedatangan para wisatawan.

Meski begitu bagi warga Suku Using di Desa Kemiren adat istiadat adalah pustaka leluhur yang harus tetap dijaga dan dilestarikan sebagai penghormatan pada nenek moyangnya. Mereka percaya jika adat istiadatnya diabaikan maka desa mereka terancam marabahaya. (gik/gik)

Sumber: detikcom
Foto : http://dongengdalam.blogspot.com

Kediri, Jatim; Berpetualang ke Puncak Gunung Kelud

0 komentar

Banyak wilayah di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, yang mempunyai keindahan alam yang sangat mempesona. Wisatawan atau orang-orang yang punya hobi berpetualang di alam perawan, bisa menjelajah sejumlah kawasan wisata yang menantang di sana.

Dengan berbagai potensi alam yang sangat menjanjikan tersebut, Pemkab Kediri sejak beberapa tahun terakhir terus melakukan berbagai terobosan, dengan mendandani beberapa kawasannya menjadi obyek wisata yang menarik. Dan tentu, objek-objek wisata alam tersebut makin banyak dikunjungi oleh wisatawan domestik dan manca negara.

Objek wisata alam di Kabupaten Kediri yang saat ini menjadi tujuan utama para wisatawan adalah Gunung Kelud, yang beberapa waktu lalu menampakkan tanda-tanda akan meletus. Tidak jadi meletus, Gunung Kelud mengeluarkan kubah lava, yang saat ini tumbuh menjadi anak gunung.

Sebelum muncul kubah lava di danau kawah, daya tarik Gunung Kelud ada pada danau kawah tersebut. Wisatawan yang datang ke tempat itu pada umumnya ingin menikmati keindahan danau kawah tersebut. Namun sayang, danau kawah itu sekarang sudah lenyap, karena tertutup oleh kubah lava baru yang tumbuh menjadi anak gunung.

Gunung Kelud terletak kurang lebih 35 Km dari kota Kediri. Persisnya terletak di Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngancar. Gunung api ini sekarang masih berstatus aktif dengan ketinggian 1.730 meter di atas permukaan laut (mdpl). Panorama pegunungan yang indah dan alami, dan udaranya yang sejuk, membuat wisatawan kerasan berlama-lama di kawasan itu.

Objek alam Gunung Kelud sangat cocok bagi mereka yang berjiwa petualang (adventure), seperti panjat tebing, lintas alam, dan camping ground. Bahkan, baru-baru ini kawasan wisata Gunung Kelud dijadikan check point untuk rally mobil nasional 2006.

Jalan menuju Gunung Kelud sudah hotmix dan dapat dilalui berbagai jenis kendaraan. Akan tetapi, sebaiknya jangan menggunakan mobil sedan, karena 3 km menjelang masuk pintu gerbang kawasan wisata Kelud terdapat tanjakan yang cukup terjal, dengan kemiringan 40 derajat, dan dengan panjang sekitar 100 meter.

Gunung Kelud hingga kini telah mengalami 28 kali letusan yang tercatat mulai tahun 1000 sampai 1990. Karena itu, kawasan Gunung Kelud masih mempesona. Sisa-sisa letusannya masih menyimpan banyak misteri dan menjadi tantangan bagi para peneliti untuk mengungkapnya.

Bagi mereka yang mempunyai jiwa petualang, tidak akan rugi jika berpetualang ke Gunung Kelud. Apalagi saat ini wisatawan bisa melihat secara langsung fenomena alam yang menarik berupa munculnya kubah lava baru akibat aktivitas Kelud belum lama ini.

Tanah sekitar Gunung Kelud dikenal sebagai tanah yang subur. Sehingga, berbagai komiditi pertanian bisa tumbuh subur di daerah lereng Kelud. Pada umumnya, warga di sekitar Gunung Kelud menanami lahan mereka dengan tanaman buah-buahan, seperti rambutan, durian, pisang, pepaya dan nanas.

Di antara tanaman buah-buahan tersebut yang paling terkenal adalah buah nanas. Buah ini sudah terkenal di berbagai daerah. Tiap panen nanas, hasilnya dikirim ke berbagai besar di Indonesia. Para wisatawan yang datang ke Gunung Kelud bisa membawa oleh-oleh berbagai buah-buahan itu. Tentu saja dengan membelinya dari penduduk setempat. (rn)

sumber : perempuan.com

Gn. Batur, Bali; Sunrise di Puncak Gunung

0 komentar
Tak hanya Kuta, Sanur atau Ubud. Bali punya pilihan tempat wisata yang amat beragam. Karena itu, jika suatu kali anda bertandang ke Pulau Dewata, cobalah nikmati sesuatu yang lain. Bagaimana kalau mendaki Gunung Batur, cukup menantang?

Kalau mendaki Gunung Batur telah dipilih sebagai tantangan terbaru anda di Pulau Bali, maka bersiaplah untuk begadang. Sebab, pendakian mesti dilakukan pada dini hari. Tujuannya tak lain, agar anda bisa sampai di puncak saat fajar sehingga bisa menikmati panorama matahari terbit (sunrise) dari puncak Gunung Batur. Seperti apa panoramanya? Sangat indah, pastinya.

Berkat promosi yang gencar, saat ini mendaki sudah menjadi maskot wisata Gunung Batur. Dan tak hanya mendaki ke puncak Gunung Batur, belakangan banyak pula wisatawan yang melakukan aktivitas tracking di kawasan itu. Tracking mereka lakukan dengan melingkari Danau Batur atau Kaldera Batur.

Karena itu, aktivitas ini dikenal dengan sebutan Kaldera Batur Tracking. Ini merupakan lokasi pendakian paling baru, yang jauh lebih menantang dibanding lokasi sebelumnya karena di sepanjang lokasi pendakian juga terdapat sejumlah objek wisata, seperti memanjat tebing dan pemakaman umat Hindu di Trunyan.

Gunung Batur terletak sekitar 64 kilometer sebelah timur laut Kota Denpasar, dan masuk dalam wilayah Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Ada beberapa versi tentang gunung itu dan kalderanya, namun beberapa sumber menyatakan bahwa Gunung Batur berasal dari gunung purba yang sangat besar dan sempat beberapa kali meletus, kemudian membentuk dua kaldera. Nah, Gunung Batur muncul di tengah kaldera itu. Gunung Batur sendiri sempat meletus pada 1849, 1888, 1904, 1927, 1963, 1968, 1974 dan 1994, dengan letusan terbesar pada 1927.

Saat ini, Kaldera Batur menjadi kawasan paling populer sebagai objek pendakian. Menurut catatan sejumlah pengusaha hotel di Toyabungkah, tempat dimulainya pendakian, dulu hampir semua wisatawan yang menginap di Toyabungkah melakukan pendakian ke Gunung Batur. Hanya sedikit saja (lima persen) saja yang tidak mendaki. Sementara kini, 90 persen wisatawan mendaki Kaldera Gunung Batur, hanya lima persen yang mendaki Gunung Batur, dan sisanya tidak mendaki.

Mendaki Gunung Batur, apa sih istimewanya? Begitu mungkin pertanyaan yang muncul di benak banyak orang. Menurut para turis asing yang sudah berkali-kali mendaki gunung ini, Gunung Batur punya sejumlah keistimewaan yang tak dimiliki banyak gunung lainnya, termasuk gunung yang ada di negeri mereka.

Gunung Batur sudah dikenal sejak lama sebagai tempat mendaki. Dulu, sekitar tahun 1980-an, para pelajar dan mahasiswa pecinta alam, kerap melakukan pendakian ke puncak gunung ini. Pada mulanya, para mahasiswa mendaki Gunung Batur di siang hari. Itu pun mereka lakukan sekadar hobi untuk mencari bunga edelweis sebagai oleh-oleh. Tapi kemudian, mereka 'ganti haluan' dengan mendaki Gunung Batur pada dini hari untuk menikmati indahnya sunrise.

Dulu wisatawan kerap merasa khawatir bakal kesulitan mendapatkan tempat menginap di Desa Toyabungkah. Kini, kekhawatiran itu tak perlu ada. Di sana, tersedia belasan hotel melati dengan fasilitas yang lumayan. Biaya sewa kamarnya lumayan murah, tak lebih dari Rp 200 ribu per malam dengan kamar yang bisa dihuni dua orang. Bagi anda yang menginginkan suasana yang 'alami', sewa saja tenda dari hotel setempat. Anda bisa mendirikan kemah di area hotel, yang memang menyediakan lokasi untuk berkemah.

''Biasanya wisatawan yang datang dengan grup, memilih menyewa tenda, karena mereka menginginkan suasana yang lebih alami,'' kata Arifin, karyawan salah satu penginapan di Toyabungkah. Menginap di Toyabungkah merupakan pilihan terbaik bagi wisatawan yang ingin mendaki puncak Gunung Batur. Setidaknya, wisatawan terlebih dahulu dapat beradaptasi dengan alam, terutama menyesuaikan diri dengan udara di kawasan Batur yang sejuk.

Enggan menginap di Toyabungkah? Boleh-boleh saja menginap di Denpasar atau tempat lain. Tapi, ini artinya anda akan membuang waktu, karena wisatawan harus bangun dini hari untuk menuju tempat pendakian. ''Kalau ada hambatan di jalan, kami akan terlambat mendaki dan tidak bisa melihat sunrise. Ini rugi sekali karena tidak bisa maksimal menikmati keindahan alam di Gunung Batur,'' kata Tria, karyawan Bank Indonesia Denpasar, yang belum lama ini mendaki Gunung Batur sekaligus menikmati panorama sunrise nan elok. Kapan anda menyusul? (rn)

perempuan.com

P. Nyangnyang, Mentawai; Mencumbu Ombak dan Berselancar

0 komentar

Pulau–pulau kecil di selatan Pulau Siberut, pulau terbesar di Kepulauan Mentawai, di kalangan para peselancar dikenal sebagai daerah yang memiliki pantai dengan ombaknya yang menantang. Dalam bahasa setempat, ombak disebut koat. Pulau–pulau kecil itu juga jauh dari kebisingan dan hiruk–pikuk kota yang melelahkan. Wilayah itu dikelilingi pantai berpasir putih, hutan yang hijau, dan udara yang segar.

Selain Nyangnyang, sejumlah pulau lain yang terkenal adalah Pulau Karangmajat, Pulau Masilok, Pulau Botik, dan Pulau Mainuk. Dahsyatnya ombak di kawasan Kepulauan Mentawai mulai dikenal kalangan peselancar dunia pada tahun 1990. Kondisi ini bahkan membuat Mentawai bisa disinonimkan dengan surfing. Sampai–sampai penduduk sekitar mengistilahkannya sebagai playground atau taman bermain karena banyaknya wahana surfing di pulau–pulau itu.

Perjalanan dari Muara Siberut ke arena surfing di Nyangnyang ditempuh dengan menggunakan perahu bermotor. Diperlukan waktu sekitar dua jam untuk sampai ke Pulau Nyangnyang yang jaraknya sekitar 21 mil dari Muara Siberut. Biayanya sekali jalan sekitar Rp 450.000. Banyak warga Muara Siberut yang memiliki penyewaan perahu bermotor untuk mengantar dan menjemput turis yang ingin berselancar. Perahu bisa disewa dengan tarif Rp 400.000 hingga Rp 500.000 untuk satu kali perjalanan.

Perjalanan menuju Pulau Nyangnyag ditempuh dengan perahu, melalui Sungai Muara Siberut yang tenang ditemani langit yang cerah dan udara laut yang segar. Di sepanjang perjalanan, anda bisa bertemu dengan penduduk asli Mentawai yang bepergian dengan sampan. Di Pulau Mentawai hampir semua perjalanan ditempuh dengan menggunakan perahu atau kapal karena jalan darat belum memadai.

Di sisi kanan dan kiri sungai terbentang hutan bakau yang lebat dengan berbagai anggota ekosistem yang hidup di dalamnya. Setiba di muara sungai, tampak burung–burung camar yang mencari ikan. Setelah beberapa saat melayang–layang di udara, burung putih itu menukik tajam ke air dan membawa ikan di paruhnya.

Selain pemandangan gugusan pulau–pulau di kejauhan dan hutan belantara yang masih alami, perjalanan menuju arena surfing juga berlangsung melalui perkampungan suku Mentawai di Katurai. Di antara deretan pohon kelapa, tampak rumah-rumah tradisional Mentawai yang disebut uma. Di sekitar muara juga banyak penduduk Mentawai yang membuang sauh perahu mereka untuk mencari ikan. Mereka menebar jala atau memancing.

Sekitar satu jam kemudian tampaklah Pulau Nyangnyang. Di kejauhan, buih–buih putih tampak melaju menuju pantai. Pantai yang sepi seolah menjadi milik para peselancar. Suasana pulau yang sunyi dan damai semacam itulah yang dicari para pencinta selancar dari seluruh dunia untuk melepaskan kepenatan dan rutinitas.

Saat pucuk ombak masih melayang di udara, para peselancar itu pun berenang di atas papan selancar. Begitu ombak setinggi lebih dari dua meter itu turun menyentuh permukaan air laut, dengan lincah para peselancar itu berdiri di atas papan dan melaju dengan kencang sambil sesekali bergaya.

Di sekitar arena surfing terdapat pondok–pondok sederhana yang bisa disewa sekitar Rp 50.000 per orang per malam. Pondok itu milik penduduk asli Mentawai yang berasal dari Desa Taileleu di seberang Pulau Nyangnyang.

Penduduk Taileleu memiliki pohon kelapa di Pulau Nyangnyang, dan sewaktu–waktu mereka datang untuk mengambil buah kelapa di sana. Sejak Pulau Nyangnyang ramai oleh peselancar yang datang dari berbagai penjuru dunia, beberapa penduduk mulai membuat pondok dan menyewakannya.

Penduduk setempat juga bisa diminta memasakkan makanan yang dibutuhkan para peselancar. Bahan makanan dan perbekalan seperti beras, mi instan, kentang, air minum, sayuran, atau makanan kaleng bisa dibeli di Muara Siberut.

Jika ombak sedang tidak bagus, angin kurang mendukung, para peselancar bisa berjalan-jalan mengelilingi pulau. Hutan yang lebat memang tidak mungkin dijelajahi, tetapi berjalan sepanjang tepi pantai berpasir putih yang mengelilingi pulau tentu sebuah pengalaman yang menyenangkan. Mereka juga bisa melakukan selam rekreasi (scuba diving), snorkelling, atau sekadar mencari ikan di perairan yang jernih.

Biasanya, bulan Juni hingga Agustus merupakan saat terbaik untuk berselancar. Dimanjakan ombak yang menantang, pemandangan yang indah, suasana yang tenang dan damai, jauh dari hingar–bingar mesin dan deru kendaraan, membuat waktu seolah-olah berhenti. Untuk sementara, di Pulau Nyangnyang, hari dan jam bukan lagi persoalan. (rn)

perempuan.com

 

Copyright 2008 All Rights Reserved | Blogger Template by Bloganol and Smart Blogging Tips