Rabu, 27 Mei 2009

Taxila, Pakistan; Menyimpan Bukti Kekejaman Attila

0 komentar

Bangunan itu masih kokoh berdiri di sebuah puncak bukit di kota Taxila, sekitar 35 kilometer sebelah barat ibukota Pakistan, Islamabad. Padahal ia didirikan pada tahun 200 Masehi. Batu-batu berwarna krem dan abu-abu ditumpuk rapi menjadi dinding kompleks bihara dan stupa Jaulian. Bihara dan stupa ini pada masanya pernah menjadi sekolah paling beken untuk belajar tentang Buddha.

Situs Jaulian dirawat dan dipelihara pemerintah Pakistan bekerja sama dengan badan PBB, Unesco. Ia masuk ke dalam satu kompleks peradaban yang lebih besar, peninggalan Kerajaan Taxila, yang sudah berdiri sejak abad kelima sebelum Masehi. Jaulian sudah mengalami banyak hal. Dari masa kejayaan sebagai tempat belajar biksu-biksu terpilih, hingga masa kehancuran akibat diserbu suku Hun dengan pemimpin mereka yang legendaris, Attila. Suku yang gemar perang dari Asia tengah ini meringsek Taxila, menjarah, dan membakar kompleks stupa dan bihara Jaulian hingga ludes.

Salah satu bukti kekejaman mereka masih disimpan di Jaulian. Sebuah arca Buddha berwana krem yang sebagian sudah lumer akibat panas pembakaran kompleks bangunan agama ini. Arca itu sengaja disimpan dalam sebuah kotak di tengah bangunan bihara dan hanya sesekali dibuka. Situs keagaaman selalu menyimpan suasana mistis, apapun agamanya. Suasana ini bisa Anda rasakan di masjid kuno, gereja peninggalan kolonial, candi Buddha dan candi Hindu, sampai pada bangunan punden berundak.

Di Jaulian suasana mistis itu kental terasa. Begitu saya melewati pintu gerbang stupa yang terbuat dari kawat, yang memisahkan kompleks bihara dan stupa, bulu kuduk langsung berdiri.Takut? Tidak. Situs Jaulian sama sekali tidak seram. Tapi entah kalau malam hari. Di siang hari pertengahan Februari lalu itu, dengan cuaca cerah, matahari terang, langit tanpa awan, angin dingin semilir membelai kulit, Jaulian bukan menampakkan wajah seramnya. Hanya wajah hening sebagai sebuah situs pemujaan.

Stupa Jaulian adalah sebuah bangunan berwarna krem segi empat dengan lorong yang menyambung di tiap sisinya. Dinding bangunan dipahat relief Buddha. Seluruh bangunan dibangun dari campuran lumpur, tanah, dan batu. Di sepanjang lorong yang mengelilingi stupa utama ada 21 stupa kecil berbentuk trapesium yang dipahat dengan indah. Kabarnya di dalam tiap stupa ini tersimpan abu jenazah pendeta Buddha paling sohor pada zamannya.

Kabar itu dibuktikan oleh Sir John H Marshall, arkeolog Inggris yang memandori penggalian arkeologi di seluruh Taxila. Ia sempat membongkar puncak stupa kecil itu untuk menemukan abu pendeta. Abu dan tempat abunya kini ada di Museum Taxila, tak jauh dari Jaulian. Selain stupa kecil, lorong juga dipenuhi oleh relung-relung tempat bertapa para pendeta. Di salah satu sudut stupa utama, terpahat di dindingnya arca Buddha 'penyembuh'. Arca ini punya keunikan pada bagian pusarnya, tampak sebagai lubang dangkal sedalam satu buku jari.

Di stupa Jaulian ini saya juga menemukan relief arca Buddha yang kurus kerempeng. Relief ini terpahat di stupa-stupa kecil yang mengelilingi stupa utama Jaulian. Buddha dipahatkan benar-benar kurus dengan garis-garis yang menyatakan tubuh Buddha yang sedang bertapa.

Yang paling unik dari stupa Jaulian adalah gaya arca Buddha-nya. Ciri mencolok tampak pada hidungnya yang mancung. Atribut hidung ini menyimpan cerita tersendiri. Ceritanya bisa dirunut pada tahun 326 sebelum masehi. Ketika Aleksander Agung dari Macedonia secara sistematis menyerang dan merebut satu demi satu wilayah di Eropa, Timur Tengah, Iran, sampai ia masuk ke India.

Taxila, yang terletak di tengah rute perdagangan Jalur Sutera antara India dan Cina, adalah salah satu pintu gerbang utama ke India. Puluhan ribu pasukan Aleksander tak butuh waktu lama untuk bisa membuat Raja Taxila saat itu, Ambhi, bertekuk lutut. Sebelum itu, Taxila adalah salah satu daerah taklukan Persia, sejak Darius duduk di tahta salah satu peradaban tertua dunia itu pada sekitar 518 sebelum masehi. Murid filsuf sohor Aristoteles ini lantas menempatkan wakilnya di Taxila. Ia sendiri meneruskan invasi ke Punjab, sebelum akhirnya mundur gara-gara pasukannya sudah bosan bertempur.

Penaklukan Aleksander tidak sekedar kekuasaan. Dia juga berperan sebagai duta kebudayaan. Ia mengawinkan beragam kebudayaan dari daerah yang ditaklukanya dengan daerah asalnya. Nama kebudayaan ini Hellenisme, yang membawa pedoman kebudayaan Yunani Kuno. Hellenisme juga merupakan campuran dari tiga kebudayaan besar yang disinggahi Aleksander, yaitu Macedonia, Yunani, dan Persia.

Hellenisme ditularkan lewat prajurit-prajurit Aleksander. Ia mengumpulkan pendukungnya yang murni bekerja sebagai tentara dan yang tadinya bermatapencarian lain, seperti tukang-tukang batu. Tentara tukang ini lantas menikahi perempuan setempat dan mereka menetap sebagai warga di daerah taklukan Aleksander, termasuk Taxila dan kembali ke profesi awalnya. Dari situ, perlahan-lahan kebudayaan Hellenisme bawaan Aleksander beradaptasi dengan kebudayaan lokal. Taxila adalah salah satu contohnya. (rn)

sumber : perempuan.com

Pantai Krakal; Pantai Terindah Di Pulau Jawa

0 komentar

Pantai Krakal ini sebenarnya telah lama mempesona para ahli perencanaan turisme dari luar negeri. Hingga mereka menyarankan bahwa pantai ini harus dipersiapkan sebagai resort pantai, terutama bagi para turis asing (seperti turis resort Nusa Dua di Bali), yang ingin berlibur dengan menikmati indahnya pantai

Ketertarikan mereka dalam mengelola pantai Krakal ternyata didukung oleh potensi yang menarik, seperti sebuah pantai berpasir putih yang landai yang terbentang sejuh 5 km. Selalu ada matahari yang bersinar dari pagi hingga malam selama musim panas dan hujan. Angin pantai selalu berhembus dengan sepoi-sepoi yang seluruhnya bisa memanjakan para pelacong, baik dalam maupun luar negeri.

Perjalanan menuju pantai Krakal ini juga melintasi bukit-bukit kapur, diselingi dengan teras-teras batu karang. Hal ini merupakan ciri dari daerah Krakal yang dikelola penduduk. Berdasarkan penelitian geologis, pada zaman yang silam, daerah ini merupakan dasar dari lautan yang oleh proses pengangkatan yang terjadi pada kerak bumi, dasar laut ini semakin lama semakin meninggi dan akhirnya muncul sebagai dataran tinggi. Batu-batuan karang yang nampak pada waktu itu merupakan bekas rumah binatang karang yang hidup di air laut saat itu.

Pantai Krakal merupakan pantai yang paling indah, di antara seluruh hamparan pantai di sepanjang pulau Jawa. Pantai ini akan dibangun menjadi kawasan pantai dan perkampungan wisatawan, khususnya wisatawan asing, semacam tourist resort Nusa Dua di pulau Bali. Pantai Krakal, bentuk pantainya landai, berpasir putih, terhampar sepanjang lebih dari 5 km. Pantai ini menerima panas matahari dari pagi hingga petang hari sepanjang tahun. Angin laut yang terhembus sangat sejuk, ombaknya cukup besar.

Meskipun masih satu mata rantai dari kunjungan ke Pantai Baron dan Pantai Kukup, nuansa perjalanan menuju lokasi Pantai Krakal sedikit berbeda. Bahkan boleh dikatakan, Pantai Krakal memberikan gambaran seutuhnya tentang panorama pantai. Disepanjang perjalanan menuju lokasi pantai ini, terlihat keindahan pemandangan bukit-bukit kapur diselingi dengan teras-teras batu karang.

Paduan bebatuan seperti ini dikenal dengan nama daerah karst, yakni bekas dasar laut yang mengalami proses pengangkatan kerak bumi sehingga menjulang ke atas membentuk sebuah dataran tinggi. Batu-batu karang ini dulunya adalah bekas sarang/rumah binatang karang yang hidup pada saat itu. Pantai Krakal relatif landai.

Hal ini memungkinkan sinar mentari menghidupkan cakrawala perpantaian, dan angin laut berhembus dengan sejuk. Pasir putih terhampar cukup panjang di tepian pantai, yakni sekitar 5 km, seolah selalu putih bersih dibasuh oleh deburan ombak yang cukup besar.

Untuk mencapai pantai Krakal Anda harus melalui Wonosari, ibukota kabupaten Gunungkidul, sekitar 38 km dari Yogyakarta. Jalan yang berliku-liku dan menanjak sudah diaspal dengan baik. Pantai Krakal terletak kira-kira 21 kilometer dari Wonosari, lokasinya terletak sekitar 7 km ke timur dari jalan utama yang bercabang ke pantai Baron. Para ahli geologi mengatakan bahwa dahulu, tempat ini berada dibawah permukaan laut.

Di dalam karangnya, masih banyak fosil yang masih dapat ditemukan. Diantara semua pantai yang membentang di pantai Jawa, Krakal adalah yang paling indah dengan pasirnya yang putih dan dikelilingi dengan tebing-tebing. Sementara itu ombaknya yang besar dan juga buihnya yang putih memberikan nuansa lebih pada pantai ini.

Secara keseluruhan, merupakan tempat yang paling cocok untuk berjemur. Pantai ini juga menawarkan tanaman laut yang beraneka macam jenisnya dan beragam warnanya. Pantai Krakal sangat dekat dengan pantai Kukup dan Teluk Baron. Teluk ini kenyataannya adalah merupakan saluran air bawah tanah yang keluar tepat di tepi pantai. (rn)

sumber : perempuan.com

Gn. Lawu, Jateng; Gunung Magis yang Mempesona

0 komentar

Terletak di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur, Lawu memiliki panorama alam yang indah. Banyak wisatawan yang berminat khusus yang mendakinya. Gunung ini pun kerap disambangi para peziarah, karena menyimpan obyek-obyek sakral bersejarah.

Di gunung berketinggian 3.265 meter di atas permukaan laut (mdpl) ini memang menyimpan berbagai peninggalan sejarah kerajaan Majapahit seperti, Candi Ceto, Candi Sukuh yang merupakan peninggalan Raden Brawijaya selama dalam pelariannya.

Gunung Lawu adalah gunung yang dikeramatkan oleh penduduk sekitar, terutama penduduk yang tinggal di kaki gunung. Tidak heran bila pada bulan-bulan tertentu seperti Bulan Syuro penanggalan Jawa, gunung ini ramai didatangi oleh para peziarah, terutama yang datang dari daerah sekitar kaki Gunung Lawu seperti daerah Tawamangu, Karanganyar, Semarang, Madiun, Nganjuk dan sebagainya.

Peninggalan-peninggalan bersejarah itu menjadi salah satu saksi sejarah, bahwa bangsa kita sejak dahulu berbudaya tinggi, oleh karenanya patut dilestarikan karena memberi nilai lebih pada gunung ini.

Tempat yang sering didatangi oleh para peziarah selain tempat yang ada di puncak Hargo Dalem dan Hargo Dumilah adalah Sendang Panguripan dan Sendang Drajat. Konon Sendang Panguripan memiliki kekuatan supernatural. Di Sendang Panguripan ini sumber airnya sering dimanfaatkan oleh para peziarah untuk mencari kehidupan.

Mereka percaya sumber air yang ada di sana, airnya pernah dimanfaatkan oleh Raden Brawijaya ketika mendaki Gunung Lawu dan sampai sekarang masyarakat percaya bahwa air yang digunakan oleh Raden Brawijaya di Sendang Panguripan sangat berkhasiat. Sama seperti Sendang Panguripan, di Sendang Drajat pun airnya sering dimanfaatkan oleh para peziarah. Konon airnya memiliki kekuatan supernatural untuk menyembuhkan berbagai penyakit.

Disamping kaya dengan sejarah dan misteri Kerajaan Majapahit, Gunung Lawu juga kaya akan berbagai obyek wisata alam seperti objek wisata alam Tawangmangu dengan air terjun Grojogan Sewu, Telaga Sarangan dengan keindahan danaunya yang begitu mempesona. Candi Ceto dan Candi Sukuh yang merupakan Candi yang dibuat oleh Raden Brawijaya selama dalam pelarian, serta tidak kalah menariknya adalah wisata alam mendaki Gunung Lawu.

Berbagai fasilitas menuju Puncak Gunung Lawu tersedia dengan baik. Untuk mendaki Gunung Lawu terdapat beberapa rute Pendakian seperti Cemoro Kandang, Cemoro Sewu, Ceto dan Jogorogo yang memasuki wilayah Ngawi Jawa Timur. Tetapi disarankan untuk melalui jalur Cemoro Kandang. Kalau melalui Cemoro Kandang waktu yang dibutuhkan sekitar 9 sampai 10 jam perjalanan pendakian dan untuk turun dibutuhkan waktu sekitar 5 sampai 6 jam.

Jika melewati Cemoro Kandang terlebih dahulu kita akan melewati beberapa rute pendakian seperti Pos pendakian Cemoro Kandang, Taman Sari Bawah, Taman Sari Atas, Parang Gupito, Jurang Pangarif-ngarif, Ondorante, Cokro Srengenge yang termasuk Pos IV serta Pos terakhir yaitu Pos V. Di sini terdapat pertigaan, kalau berbelok ke kanan kita akan menuju Puncak Hargo Dumilah yang merupakan puncak tertinggi dengan ketinggian 3.265 mdpl dan jika lurus kita akan menuju Puncak Hargo Dalem 3.148 mdpl.

Dari puncak Gunung Lawu kita akan disuguhi peristiwa alam matahari terbit yang indah. Bila memandang ke arah Barat akan terlihat puncak Gunung Merapi, Merbabu. Dan kalau melihat ke arah Timur akan terlihat keindahan Puncak Gunung Kelud, Butak dan Gunung Wilis membentuk lukisan alam yang menawan. Jika ingin mendaki menuju Puncak Gunung Lawu yang tidak terlalu ramai sebaiknya pada hari Senin sampai Jumat.

Beberapa jenis burung bisa ditemui di kawasan Gunung Lawu, seperti Burung Anis, Perjak, Kaca Mata dan Burung Kerak. Tumbuhannya antara lain Cemara Gunung, Bunga Edelweiss, Cantigi, Pohon Karet Hutan, Beringin, Rustania dan Puspa. Bunga Edelweiss tumbuh subur terutama di lembah dan lereng Gunung Lawu, mulai dari jalur antara Pos IV dan Pos V.

Sampai sekarang, ekosistem tumbuhan dan binatang yang hidup di kawasan Gunung Lawu masih terjaga dengan baik. Karena masyarakat yang tinggal di kaki Gunung merasa takut atau memiliki anggapan bahwa jikalau hutannya dirusak, maka penguasa Lawu yakni Sunan Lawu yang tak lain adalah Sang Prabu Brawijaya, akan marah besar. (rn)

sumber : perempuan.com

Menengok Desa Wisata Adat Using

0 komentar
Jaman boleh terus bergulir, namun tidak demikian dengan pola dan gaya hidup Suku Using di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi. Desa yang berjarak sekitar 7 Km arah barat dari pusat Kota Banyuwangi itu, masih menjaga adat istiadat warisan leluhur mereka. Tak heran jika Pemerintah Kabupaten Banyuwangi sekitar tahun 1995 menetapkan desa yang berpenghuni 2663 jiwa tersebut sebagai Desa Wisata Adat.
Banyak adat Using yang masih lestari dan dipertahankan warga yang sebagian besar hidup dari bercocok tanam ini. Seperti bangunan rumah masih beraksitektur Gebyug, rumah adat Using yang memeliki ciri khas serta mempunyai filosofi kehidupan dalam berumah tangga.

Kecuali itu, pola bertani tradisonal seperti menggunakan baling-baling kayu untuk mengusir hama masih dilakukan.

Upacara perkawinan masih menggunakan tatanan adat yang diturunkan secara turun temurun, semisal upacara lamaran manten dan kirab keliling kampung yang saat ini sudah jarang ditemui dikawasan Kota Banyuwangi.

Tak ketinggalan menariknya,warga setempat memiliki beberapa acara adat yang diselenggarakan rutin tiap tahun, semisal Tumpeng Sewu atau biasa disebut warga 'Selamatan Bersih Desa' yang dilaksanakan pada hari Senin atau Hari Jumat awal di Bulan Haji.

"Insya Allah acara bersih desa tahun ini akan kami selanggarakan pada 1 Desember mendatang," tutur Pak Timbul, sesepuh Desa Kemiren saat ditemui detiksurabaya.com, Rabu (15/10/2008) pagi.

Selain memegang teguh adat istiadat dalam kesehariannya, warga Desa Kemiren yang kesemuanya mayoritas beragama Islam ini juga patuh pada ajaran agamanya.

Hubungan sosial antar warga terjalin secara kuat. "Jika ada hajatan tetangga,kami semua berduyun-duyun urun rembug materi atau sekedar tenaga," terang Pak Timbul lagi.

Sifat warga yang cenderung terbuka, ramah membuat nyaman siapa saja yang berkunjung atau bahkan menginap ke Desa Kemiren ini. Tak kurang dari puluhan wisatawan tiap bulannya berkunjung untuk belajar kearifan tradisional Suku asli Banyuwangi ini.

"Jika ingin berkunjung pintu rumah kami terbuka lebar bagi siapa saja," jelas Anak Agung Tahrim, Kepala Desa Kemiren.

Banyak sanggar-sanggar seni yang menjadi tempat belajar bagi tiap wisatawan, tak perlu bingung tempat untuk berteduh. Sebab lanjut Tahrim sebab hampir semua warga secara suka rela akan mempersilahkan pengunjung untuk tinggal di rumahnya.

Bahkan menginap untuk jangka waktu yang cukup lama, seminggu atau bahkan sebulan. "cukup bantu kami uang belanja mas," lanjutnya.

Kentalnya Budaya dan Adat di Desa Kemiren semakin lengkap dengan balutan suasana Desa yang masih Asri dengan banyaknya pepohonan yang tumbuh .

Sungai-sungai masih mengalir dengan kejernihan air asli pegunungan membelah areal persawahan yang mengelilingi Desa. Jalan Desa pun sudah beraspal meski tidak semulus jalan di pusat Kota.

Ditengah desa terdapat Anjungan Wisata seluas 1800 M2 yang awal pendiriannya sebagai pusat ajang kegiatan kesenian khas Using seperti Tari Gandrung maupun Barong. Anjungan itu kini menjadi tempat rekreasi konvensional dengan dua kolam renang yang menjadi andalannya.

Untuk terus menjaga kelestarian warisan nenek moyangnya, Pemerintah Desa menerbitkan Peraturan Desa atau Perdes tentang pelestarian Adat yang sifatnya hanya mengatur. Termasuk keberadaan Kelompok Sadar Wisata (PokDarWis) yang akan melayani dengan ramah kedatangan para wisatawan.

Meski begitu bagi warga Suku Using di Desa Kemiren adat istiadat adalah pustaka leluhur yang harus tetap dijaga dan dilestarikan sebagai penghormatan pada nenek moyangnya. Mereka percaya jika adat istiadatnya diabaikan maka desa mereka terancam marabahaya. (gik/gik)

Sumber: detikcom
Foto : http://dongengdalam.blogspot.com

Kediri, Jatim; Berpetualang ke Puncak Gunung Kelud

0 komentar

Banyak wilayah di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, yang mempunyai keindahan alam yang sangat mempesona. Wisatawan atau orang-orang yang punya hobi berpetualang di alam perawan, bisa menjelajah sejumlah kawasan wisata yang menantang di sana.

Dengan berbagai potensi alam yang sangat menjanjikan tersebut, Pemkab Kediri sejak beberapa tahun terakhir terus melakukan berbagai terobosan, dengan mendandani beberapa kawasannya menjadi obyek wisata yang menarik. Dan tentu, objek-objek wisata alam tersebut makin banyak dikunjungi oleh wisatawan domestik dan manca negara.

Objek wisata alam di Kabupaten Kediri yang saat ini menjadi tujuan utama para wisatawan adalah Gunung Kelud, yang beberapa waktu lalu menampakkan tanda-tanda akan meletus. Tidak jadi meletus, Gunung Kelud mengeluarkan kubah lava, yang saat ini tumbuh menjadi anak gunung.

Sebelum muncul kubah lava di danau kawah, daya tarik Gunung Kelud ada pada danau kawah tersebut. Wisatawan yang datang ke tempat itu pada umumnya ingin menikmati keindahan danau kawah tersebut. Namun sayang, danau kawah itu sekarang sudah lenyap, karena tertutup oleh kubah lava baru yang tumbuh menjadi anak gunung.

Gunung Kelud terletak kurang lebih 35 Km dari kota Kediri. Persisnya terletak di Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngancar. Gunung api ini sekarang masih berstatus aktif dengan ketinggian 1.730 meter di atas permukaan laut (mdpl). Panorama pegunungan yang indah dan alami, dan udaranya yang sejuk, membuat wisatawan kerasan berlama-lama di kawasan itu.

Objek alam Gunung Kelud sangat cocok bagi mereka yang berjiwa petualang (adventure), seperti panjat tebing, lintas alam, dan camping ground. Bahkan, baru-baru ini kawasan wisata Gunung Kelud dijadikan check point untuk rally mobil nasional 2006.

Jalan menuju Gunung Kelud sudah hotmix dan dapat dilalui berbagai jenis kendaraan. Akan tetapi, sebaiknya jangan menggunakan mobil sedan, karena 3 km menjelang masuk pintu gerbang kawasan wisata Kelud terdapat tanjakan yang cukup terjal, dengan kemiringan 40 derajat, dan dengan panjang sekitar 100 meter.

Gunung Kelud hingga kini telah mengalami 28 kali letusan yang tercatat mulai tahun 1000 sampai 1990. Karena itu, kawasan Gunung Kelud masih mempesona. Sisa-sisa letusannya masih menyimpan banyak misteri dan menjadi tantangan bagi para peneliti untuk mengungkapnya.

Bagi mereka yang mempunyai jiwa petualang, tidak akan rugi jika berpetualang ke Gunung Kelud. Apalagi saat ini wisatawan bisa melihat secara langsung fenomena alam yang menarik berupa munculnya kubah lava baru akibat aktivitas Kelud belum lama ini.

Tanah sekitar Gunung Kelud dikenal sebagai tanah yang subur. Sehingga, berbagai komiditi pertanian bisa tumbuh subur di daerah lereng Kelud. Pada umumnya, warga di sekitar Gunung Kelud menanami lahan mereka dengan tanaman buah-buahan, seperti rambutan, durian, pisang, pepaya dan nanas.

Di antara tanaman buah-buahan tersebut yang paling terkenal adalah buah nanas. Buah ini sudah terkenal di berbagai daerah. Tiap panen nanas, hasilnya dikirim ke berbagai besar di Indonesia. Para wisatawan yang datang ke Gunung Kelud bisa membawa oleh-oleh berbagai buah-buahan itu. Tentu saja dengan membelinya dari penduduk setempat. (rn)

sumber : perempuan.com

Gn. Batur, Bali; Sunrise di Puncak Gunung

0 komentar
Tak hanya Kuta, Sanur atau Ubud. Bali punya pilihan tempat wisata yang amat beragam. Karena itu, jika suatu kali anda bertandang ke Pulau Dewata, cobalah nikmati sesuatu yang lain. Bagaimana kalau mendaki Gunung Batur, cukup menantang?

Kalau mendaki Gunung Batur telah dipilih sebagai tantangan terbaru anda di Pulau Bali, maka bersiaplah untuk begadang. Sebab, pendakian mesti dilakukan pada dini hari. Tujuannya tak lain, agar anda bisa sampai di puncak saat fajar sehingga bisa menikmati panorama matahari terbit (sunrise) dari puncak Gunung Batur. Seperti apa panoramanya? Sangat indah, pastinya.

Berkat promosi yang gencar, saat ini mendaki sudah menjadi maskot wisata Gunung Batur. Dan tak hanya mendaki ke puncak Gunung Batur, belakangan banyak pula wisatawan yang melakukan aktivitas tracking di kawasan itu. Tracking mereka lakukan dengan melingkari Danau Batur atau Kaldera Batur.

Karena itu, aktivitas ini dikenal dengan sebutan Kaldera Batur Tracking. Ini merupakan lokasi pendakian paling baru, yang jauh lebih menantang dibanding lokasi sebelumnya karena di sepanjang lokasi pendakian juga terdapat sejumlah objek wisata, seperti memanjat tebing dan pemakaman umat Hindu di Trunyan.

Gunung Batur terletak sekitar 64 kilometer sebelah timur laut Kota Denpasar, dan masuk dalam wilayah Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Ada beberapa versi tentang gunung itu dan kalderanya, namun beberapa sumber menyatakan bahwa Gunung Batur berasal dari gunung purba yang sangat besar dan sempat beberapa kali meletus, kemudian membentuk dua kaldera. Nah, Gunung Batur muncul di tengah kaldera itu. Gunung Batur sendiri sempat meletus pada 1849, 1888, 1904, 1927, 1963, 1968, 1974 dan 1994, dengan letusan terbesar pada 1927.

Saat ini, Kaldera Batur menjadi kawasan paling populer sebagai objek pendakian. Menurut catatan sejumlah pengusaha hotel di Toyabungkah, tempat dimulainya pendakian, dulu hampir semua wisatawan yang menginap di Toyabungkah melakukan pendakian ke Gunung Batur. Hanya sedikit saja (lima persen) saja yang tidak mendaki. Sementara kini, 90 persen wisatawan mendaki Kaldera Gunung Batur, hanya lima persen yang mendaki Gunung Batur, dan sisanya tidak mendaki.

Mendaki Gunung Batur, apa sih istimewanya? Begitu mungkin pertanyaan yang muncul di benak banyak orang. Menurut para turis asing yang sudah berkali-kali mendaki gunung ini, Gunung Batur punya sejumlah keistimewaan yang tak dimiliki banyak gunung lainnya, termasuk gunung yang ada di negeri mereka.

Gunung Batur sudah dikenal sejak lama sebagai tempat mendaki. Dulu, sekitar tahun 1980-an, para pelajar dan mahasiswa pecinta alam, kerap melakukan pendakian ke puncak gunung ini. Pada mulanya, para mahasiswa mendaki Gunung Batur di siang hari. Itu pun mereka lakukan sekadar hobi untuk mencari bunga edelweis sebagai oleh-oleh. Tapi kemudian, mereka 'ganti haluan' dengan mendaki Gunung Batur pada dini hari untuk menikmati indahnya sunrise.

Dulu wisatawan kerap merasa khawatir bakal kesulitan mendapatkan tempat menginap di Desa Toyabungkah. Kini, kekhawatiran itu tak perlu ada. Di sana, tersedia belasan hotel melati dengan fasilitas yang lumayan. Biaya sewa kamarnya lumayan murah, tak lebih dari Rp 200 ribu per malam dengan kamar yang bisa dihuni dua orang. Bagi anda yang menginginkan suasana yang 'alami', sewa saja tenda dari hotel setempat. Anda bisa mendirikan kemah di area hotel, yang memang menyediakan lokasi untuk berkemah.

''Biasanya wisatawan yang datang dengan grup, memilih menyewa tenda, karena mereka menginginkan suasana yang lebih alami,'' kata Arifin, karyawan salah satu penginapan di Toyabungkah. Menginap di Toyabungkah merupakan pilihan terbaik bagi wisatawan yang ingin mendaki puncak Gunung Batur. Setidaknya, wisatawan terlebih dahulu dapat beradaptasi dengan alam, terutama menyesuaikan diri dengan udara di kawasan Batur yang sejuk.

Enggan menginap di Toyabungkah? Boleh-boleh saja menginap di Denpasar atau tempat lain. Tapi, ini artinya anda akan membuang waktu, karena wisatawan harus bangun dini hari untuk menuju tempat pendakian. ''Kalau ada hambatan di jalan, kami akan terlambat mendaki dan tidak bisa melihat sunrise. Ini rugi sekali karena tidak bisa maksimal menikmati keindahan alam di Gunung Batur,'' kata Tria, karyawan Bank Indonesia Denpasar, yang belum lama ini mendaki Gunung Batur sekaligus menikmati panorama sunrise nan elok. Kapan anda menyusul? (rn)

perempuan.com

P. Nyangnyang, Mentawai; Mencumbu Ombak dan Berselancar

0 komentar

Pulau–pulau kecil di selatan Pulau Siberut, pulau terbesar di Kepulauan Mentawai, di kalangan para peselancar dikenal sebagai daerah yang memiliki pantai dengan ombaknya yang menantang. Dalam bahasa setempat, ombak disebut koat. Pulau–pulau kecil itu juga jauh dari kebisingan dan hiruk–pikuk kota yang melelahkan. Wilayah itu dikelilingi pantai berpasir putih, hutan yang hijau, dan udara yang segar.

Selain Nyangnyang, sejumlah pulau lain yang terkenal adalah Pulau Karangmajat, Pulau Masilok, Pulau Botik, dan Pulau Mainuk. Dahsyatnya ombak di kawasan Kepulauan Mentawai mulai dikenal kalangan peselancar dunia pada tahun 1990. Kondisi ini bahkan membuat Mentawai bisa disinonimkan dengan surfing. Sampai–sampai penduduk sekitar mengistilahkannya sebagai playground atau taman bermain karena banyaknya wahana surfing di pulau–pulau itu.

Perjalanan dari Muara Siberut ke arena surfing di Nyangnyang ditempuh dengan menggunakan perahu bermotor. Diperlukan waktu sekitar dua jam untuk sampai ke Pulau Nyangnyang yang jaraknya sekitar 21 mil dari Muara Siberut. Biayanya sekali jalan sekitar Rp 450.000. Banyak warga Muara Siberut yang memiliki penyewaan perahu bermotor untuk mengantar dan menjemput turis yang ingin berselancar. Perahu bisa disewa dengan tarif Rp 400.000 hingga Rp 500.000 untuk satu kali perjalanan.

Perjalanan menuju Pulau Nyangnyag ditempuh dengan perahu, melalui Sungai Muara Siberut yang tenang ditemani langit yang cerah dan udara laut yang segar. Di sepanjang perjalanan, anda bisa bertemu dengan penduduk asli Mentawai yang bepergian dengan sampan. Di Pulau Mentawai hampir semua perjalanan ditempuh dengan menggunakan perahu atau kapal karena jalan darat belum memadai.

Di sisi kanan dan kiri sungai terbentang hutan bakau yang lebat dengan berbagai anggota ekosistem yang hidup di dalamnya. Setiba di muara sungai, tampak burung–burung camar yang mencari ikan. Setelah beberapa saat melayang–layang di udara, burung putih itu menukik tajam ke air dan membawa ikan di paruhnya.

Selain pemandangan gugusan pulau–pulau di kejauhan dan hutan belantara yang masih alami, perjalanan menuju arena surfing juga berlangsung melalui perkampungan suku Mentawai di Katurai. Di antara deretan pohon kelapa, tampak rumah-rumah tradisional Mentawai yang disebut uma. Di sekitar muara juga banyak penduduk Mentawai yang membuang sauh perahu mereka untuk mencari ikan. Mereka menebar jala atau memancing.

Sekitar satu jam kemudian tampaklah Pulau Nyangnyang. Di kejauhan, buih–buih putih tampak melaju menuju pantai. Pantai yang sepi seolah menjadi milik para peselancar. Suasana pulau yang sunyi dan damai semacam itulah yang dicari para pencinta selancar dari seluruh dunia untuk melepaskan kepenatan dan rutinitas.

Saat pucuk ombak masih melayang di udara, para peselancar itu pun berenang di atas papan selancar. Begitu ombak setinggi lebih dari dua meter itu turun menyentuh permukaan air laut, dengan lincah para peselancar itu berdiri di atas papan dan melaju dengan kencang sambil sesekali bergaya.

Di sekitar arena surfing terdapat pondok–pondok sederhana yang bisa disewa sekitar Rp 50.000 per orang per malam. Pondok itu milik penduduk asli Mentawai yang berasal dari Desa Taileleu di seberang Pulau Nyangnyang.

Penduduk Taileleu memiliki pohon kelapa di Pulau Nyangnyang, dan sewaktu–waktu mereka datang untuk mengambil buah kelapa di sana. Sejak Pulau Nyangnyang ramai oleh peselancar yang datang dari berbagai penjuru dunia, beberapa penduduk mulai membuat pondok dan menyewakannya.

Penduduk setempat juga bisa diminta memasakkan makanan yang dibutuhkan para peselancar. Bahan makanan dan perbekalan seperti beras, mi instan, kentang, air minum, sayuran, atau makanan kaleng bisa dibeli di Muara Siberut.

Jika ombak sedang tidak bagus, angin kurang mendukung, para peselancar bisa berjalan-jalan mengelilingi pulau. Hutan yang lebat memang tidak mungkin dijelajahi, tetapi berjalan sepanjang tepi pantai berpasir putih yang mengelilingi pulau tentu sebuah pengalaman yang menyenangkan. Mereka juga bisa melakukan selam rekreasi (scuba diving), snorkelling, atau sekadar mencari ikan di perairan yang jernih.

Biasanya, bulan Juni hingga Agustus merupakan saat terbaik untuk berselancar. Dimanjakan ombak yang menantang, pemandangan yang indah, suasana yang tenang dan damai, jauh dari hingar–bingar mesin dan deru kendaraan, membuat waktu seolah-olah berhenti. Untuk sementara, di Pulau Nyangnyang, hari dan jam bukan lagi persoalan. (rn)

perempuan.com

Hangzhou Bukan Hanya West Lake

0 komentar
Bagi Anda yang pernah dengar nama Hangzhou, sebuah kota pariwisata yang sangat terkenal di mainland China, pasti yang pertama terbesit di benak Anda adalah indahnya panorama Xi Hu alias West Lake yang terkenal itu beserta ikon-ikon terkenal di sekitarnya: pagoda Lei Feng Ta (tempat mengurung sang Siluman Ular Putih), Duan Qiao (Broken Bridge, tempat nyonya Ular Putih pertama kali bertemu dengan suaminya), dsb.

Namun Hangzhou bukan hanya Xi Hu atau Lei Feng Ta, masih banyak tempat pariwisata menarik lainnya, yaitu Long Jing (The Dragon Well, tempat asalnya teh Longjing yang terkenal itu), Ling Yin Si (kompleks biara terkenal yang pernah ditinggali biksu nyentrik Chi Kung), Hangzhou Silk Museum, Xi Xi Wet Land (alamnya luar biasa indahnya, seperti masuk ke sebuah suaka margasatwa atau cagar alam saja), dsb.

Memanfaatkan libur seminggu ini, bukan dalam rangka Lebaran (soalnya of course pemerintah China nggak ngerayain Lebaran), namun dalam rangka peringatan Hari Negara, kemarin (2 Oktober 2008) saya dan Ella pergi jalan-jalan ke Song Cheng (Song Dynasty Town), sebuah kompleks taman hiburan yang terletak di bagian barat Hangzhou. Yang membuat saya penasaran dengan tujuan pariwisata ini adalah, menurut Ella (yang pernah menyambangi tempat itu sampai 2 kali), Song Cheng sengaja ditata dengan tema kota Hangzhou zaman dinasti Song Selatan (1127 – 1276 M).

Sekedar informasi, kota Hangzhou pernah “ketiban sampur” jadi ibukota kekaisaran China pada zaman dinasti Song Selatan. Saat itu, bangsa barbar Jurchen di utara menyerbu China utara dan bahkan berhasil menduduki ibukota Bianjing (sekarang kota Kaifeng di provinsi Henan). Kaisar Song terpaksa melarikan diri ke selatan, yaitu ke kota Hangzhou yang ada di selatan sungai Yangzi dan mendirikan kelanjutan dinasti Song di China selatan (itulah sebabnya mengapa disebut Song Selatan).

Nah, kembali ke Song Cheng. Karena hari libur, Song Cheng dipadati oleh ribuan gundhul manusia. Agaknya momen liburan tidak disia-siakan oleh orang China. Semua tempat wisata diserbu pengunjung. Jalanan macet, dan bis-bis umum dipenuhi oleh manusia. Tak terkecuali bis yang saya tumpangi bersama Ella. Berangkatnya masih mending, dapat kursi. Setelah ganti bis di Zheda Fuzhong (itupun salah halte, karena seharusnya di Hupao pun sudah bisa ganti bis, namun kami malah turun di 6 halte setelahnya), kami harus rela berdiri dan berdesak-desakan dengan orang China lainnya. Meski jarang ada pencopet atau jambret di bis, untuk amannya dompet saya masukkan ke saku jaket di depan, kamera di tas kecil, dan kamus elektronik di tas Ella. Alhamdulillah, barang-barang kami aman selama perjalanan sampai kembali ke asrama.

Melihat Atraksi Zaman Baheula

Sekitar jam 1 siang kami sampai di Song Cheng. Tiket masuknya 80 RMB per kepala (sekitar 108 ribu rupiah). Lumayan, saya pikir. Tidak terlalu mahal untuk sebuah kompleks taman hiburan terkenal.

Namun harga tiketnya memang sepadan dengan apa yang saya dapatkan. Pengelola taman hiburan itu memang tidak asal pasang harga. Semua yang ada di dalam Song Cheng benar-benar ditata seperti layaknya kota Lin’an (nama kuno Hangzhou saat masih jadi ibukota kekaisaran) zaman dahulu kala. Rumah-rumah dan kedai di sepanjang jalan didesain seperti rumah China kuno, bahkan pelayan-pelayan kedai makanan dan penjaja pernak-pernik di dalamnya juga berpakaian ala dinasti Song. Yang lebih membuat saya hanya bisa geleng-geleng kepala adalah ada juga prajurit penjaga gerbangnya..! Dua orang pria muda sengaja didandani dengan kostum prajurit zaman dulu, lengkap dengan helm perang dan tombak di tangan. Mereka nampang terus seharian di sisi pintu gerbang, tanpa ekspresi. Layaknya Mr. Bean yang hobi jeprat-jepret dengan guard di Buckingham Palace, para pengunjung pun nampang di sisi si penjaga gerbang yang tetap cool dan tanpa ekspresi. Saya? Enggak deh… Penjaganya serem ah..

Tidak hanya berdiri saja, ada beberapa orang penjaga yang berpatroli keliling gerbang. Ketika saya masuk ke gerbang kota, dari belakang terdengar suara orang meminta kerumunan untuk memberi jalan. Ketika menengok ke belakang, ternyata beberapa orang prajurit tengah berpatroli sambil menunggang kuda. Kuda beneran. Kami pun segera menyingkir daripada dicium moncong kuda.

Sebenarnya, sebelum melihat aksi penjaga yang nampang dengan cool-nya, saya dan Ella terlebih dulu menyaksikan atraksi jalanan ala zaman baheula. Sebuah rombongan pemain akrobat berlaga di atas panggung yang sengaja disiapkan untuk mereka, terdiri dari seorang gadis belia, seorang pria hampir paruh baya (yang juga adalah pimpinan rombongan), seorang remaja muda, dan seorang lagi menabuh alat musik di belakang. Sang pemimpin rombongan membuka atraksi mereka dengan salam perkenalan ala pendekar zaman dahulu, termasuk menjura dengan dua tangan di depan dada. Ia menjelaskan atraksi yang akan mereka lakukan, dan mewanti-wanti “don’t try this at home” (dengan bahasa Mandarin, tentunya).

Penasaran dengan promosinya, saya dan Ella langsung mendekat ke panggung yang di sekelilingnya banyak penonton sudah ramai berkumpul. Atraksi pun dibuka oleh seorang gadis manis yang masih muda (belasan, mungkin) dengan kostum yang tak kalah menarik (bukan kostum seksi lho… harap jangan berpikiran ngeres, apalagi ini kan Lebaran.. hehehe). Ia membaringkan diri di atas sebuah bangku kayu mirip pelana kuda (kalo saya boleh bilang), yang sengaja didesain khusus untuk atraksinya. Ia mengangkat kedua kakinya lurus ke atas, dan rekan-rekannya yang lain segera menaruh sebiji guci tanah liat di atas kedua telapak kakinya. Dengan ahlinya, ia segera memain-mainkan guci tanah liat itu, memutar-mutarnya seperti gasing saja, hanya dengan bantuan kedua kakinya yang lurus ke atas. Tidak hanya berhenti di situ, ia melakukan hal yang sama dengan sebuah meja kayu yang lumayan besar. Wow…

Setelah atraksinya selesai, giliran jatuh ke remaja muda yang juga ikut dalam rombongan mereka. Mengenakan bantalan pengaman di ubun-ubunnya, ia segera memulai aksinya. Ada sebuah peralatan atraksi yang lain, yang memiliki trap-trap seperti anak tangga. Si remaja kecil ini segera jungkir balik dan menaruh kepalanya di atas trap yang paling rendah. Bantalan di ubun-ubunnya memang sengaja dipasang untuk melindungi kepalanya yang masih belum keras (kayak saya, keras kepala), dan juga membantu menjaga keseimbangan. Satu-persatu trap-trap itu ia lompati dengan kepalanya. Hop.. hop.. sesuai dengan aba-aba si ketua rombongan. Saya jadi berpikir sendiri, apa nggak sakit ya kepalanya itu?

Begitu sampai di trap yang paling atas, remaja kecil ini tidak lantas berhenti: ia bermain lompat tali dengan kepalanya..! Kalau orang normal melompat-lompat memakai kaki, ia memakai kepalanya. Bukan hal yang mudah dilakukan, dan bisa pusing tujuh keliling delapan hari sembilan malam kalau orang macam saya nekat mencobanya.

Si ketua rombongan tak mau kalah. Setelah anak buahnya selesai beratraksi, giliran dia yang maju. Mengenakan peralatannya sendiri, berupa sebuah cawan kecil yang ia ikatkan ke kepalanya dengan ikat karet, ia melempar-lemparkan tiga butir telur, namun telur bukan sembarang telur. Telurnya dibuat dari batu. Kalau dilempar kena kepala bukan telurnya yang pecah, tapi..?

Setelah melempar-lempar telur-telurnya ala sirkus, ia melempar sebutir ke atas, lantas menangkapnya dengan cawan yang diikatkan ke dahinya itu. Satu persatu ia lemparkan ke atas, dan semuanya berhasil ia tangkap dengan sukses. Ah, biasa saja, menurut saya.

Tahu kalau penonton belum puas, ia lantas menuju ke atraksi selanjutnya, yang juga adalah atraksi terakhir mereka. Enam potong balok kayu yang cukup tebal ditata melingkar, mengelilingi tubuh manusia. Satu di antara kedua paha, dua di bawah ketiak, dan tiga di sekitar kepala. Si ketua rombongan menyiapkan enam batang kapak besi (bukan kapak merah lho, meskipun gagangnya berwarna merah). Untuk membuktikan bahwa kapak itu asli, bukan kapak-kapakan atau minyak cap Kapak (halah…), ia mengadu senjata tajam itu sampai keluar bunyi logam beradu, lantas melemparkannya satu persatu ke balok-balok kayu itu. Penonton di belakang balok kayu diminta menyingkir, kalau-kalau lemparannya salah sasaran. Wah, agak ngeri juga tuh.

Kemudian ia meminta seorang sukarelawan untuk naik ke atas, untuk membuktikan sendiri ketajaman kapak itu. Seorang pria pun naik ke atas. Namun yang terjadi, ternyata ia ditaruh di antara balok-balok itu, sebagai sasaran tembak. Kontan saja ia segera minta turun ke panggung, namun dicegah oleh anggota rombongan yang lain. Apa boleh buat, sudah terlanjur naik ke atas, ia pun merelakan dirinya jadi sasaran lemparan kapak.

“Jangan banyak bergerak, kalau salah lempar nggak tanggung lho..”kata si ketua rombongan. Ekspresi wajah sang sukarelawan sudah pucat pasi. Apalagi dibilang bahwa, “tingkat ketepatan sasaran atraksi ini 60 %”. Sang sukarelawan langsung mencoba ngacir, namun tetap dicegah. Akhirnya, sambil pasrah dan berdoa (berdoa apa nggak ya? saya nggak tahu dia komunis apa bukan), ia pun hanya bisa harap-harap cemas ketika si ketua rombongan melemparkan kapaknya satu-persatu.

Namun untunglah, atraksi kali itu sukses, tidak ada yang cedera. Di tengah applause meriah dari para penonton, si ketua rombongan pun mohon diri sambil mengucapkan terimakasih. Tidak seperti yang saya kira sebelumnya, ternyata penonton tidak dimintai sumbangan seperti yang sering saya lihat di film-film kungfu di TV.

Atraksi Utama: Theatrikal

Namun atraksi utama bukanlah panggung jalanan yang saya saksikan barusan. Ella bilang, ke Song Cheng belum genap rasanya kalau belum menyaksikan pertunjukan theater. Ya sudah, ayo kita beli tiketnya.

Alamak..! Terkejut saya ketika melihat harga tiket masuknya. 100 RMB per kepala! Itu artinya 135 ribu rupiah hanya untuk nonton theater yang hanya main satu jam lamanya. Waduh, kok mahal ya? Pertamanya saya berpikir untuk mengurungkan niat saya. Namun karena Ella berani menjamin bahwa saya bakalan nyesel kalau sampai jauh-jauh datang namun tidak menyaksikan yang satu ini, saya pun tutup mata sambil mengeluarkan uang 100 RMB dari kocek.

Tepat jam setengah 3 siang, pertunjukan dimulai. Ada 4 pintu masuk berbeda ke dalam theater, dan antrian panjang sudah berjubel di depannya. Pemandangan umum pun segera muncul, yaitu orang-orang China saling berebut masuk dan memotong antrian. Belum lagi kalau ada yang buang ludah sembarangan. Meibanfa. Apa boleh buat…

Theater itu lumayan besar, cukup dimuati lima sampai enam ratus orang, mungkin lebih. Hari itu penonton lumayan banyak, namun semuanya kebagian tempat duduk. Setelah semuanya dapat kursi, pertunjukan pun dimulai.

Ada banyak scene yang mereka tampilkan. Keseluruhan ada 6. Scene pembuka menampilkan dua orang badut China dengan aksi konyol mereka. Mereka berdua mencoba mengisi ember dengan air, namun embernya digantung di atas tiang tinggi. Setelah selesai mengisi ember, si badut pun turun, namun tidak sengaja menyengol tiangnya dan embernya jatuh ke arah penonton. Penonton di bangku depan pun kaget, namun mereka tertipu karena ternyata embernya tidak ada airnya. Dengan puas karena sudah berhasil mengecoh penonton, kedua badut itu pun masuk ke dalam.

Melongok Kehidupan Zaman Kuno: Enaknya Jadi Kaisar

Scene pertama dimulai. Ceritanya bertemakan zaman prasejarah, ketika orang masih berbaju kulit hewan dan bertopi bulu burung. Mereka menari-nari dan beratraksi layaknya manusia zaman kuno yang masih sering lompat-lompatan di atas pohon. Aksi singkat ini hanya berlangsung tidak sampai 10 menit.

Selanjutnya, scene kedua dimulai. Ceritanya tentang perayaan ulangtahun para kaisar dinasti Song. Sebagai pembuka. para biksu ditampilkan sedang duduk bersila sambil membaca doa sementara di belakangnya, sang Buddha memancarkan sinarnya dengan gemilang.

Kemudian tanpa kami sadari, dari tengah deretan bangku penonton, para penari cantik sudah berbaris rapi berurutan. Mereka mengenakan kostum selir kaisar, dan kemudian dengan moleknya berjalan ke arah panggung. Ketika sampai di panggung, tabir pun terbuka dan nampaklah tahta singgasana kebesaran kaisar lengkap dengan segala pernak-perniknya, juga dengan para dayang dan kasim yang siap melayani sang maharaja. Kaisar dan permaisurinya pun masuk dan segera menempati singgasana mereka. Sang kasim lantas mempersilakan kaisar untuk memulai acara ulang tahunnya.

Para duta besar negara sahabat datang untuk memberikan ucapan selamat, sambil menyuguhkan atraksi dari negeri mereka masing-masing. Namun pertama-tama, tarian dari negeri sendiri yang dipertunjukkan. Para penari lengkap dengan lengan baju yang sangat panjang, yang juga jadi selendang, menari dengan indahnya seperti peri-peri kahyangan. Saya hanya bisa berdecak kagum sambil senyum-senyum sendiri. Sang kaisar? Hanya elus-elus jenggot di atas kursinya.

Tarian kedua pun dipertontonkan. Kali ini dari timur tengah. Para penari berdandan ala belly dancer dari timur tengah, lengkap dengan mahkota bulu merak di atas kepala mereka. Diiringi musik rebana dan gambus, mereka pun meliuk-liukkan pinggangnya yang seksi nan ramping itu mengikuti irama musik. Kemudian tempo musik berubah cepat, dan main dancer segera menunjukkan kebolehannya. Bergoyang-goyang pinggul ala belly dance di tengah iringan disco padang pasir. Wooow…. (sekali lagi, karena Lebaran, dilarang berpikir ngeres lho ya…) Sang kaisar? Lagi-lagi hanya elus-elus jenggot di atas kursi singgasananya.

Setelah puas dihibur dengan tarian padang pasir, lampu panggung pun dimatikan dan tiba-tiba tepat dari muka deretan bangku terdepan, muncullah dua orang gadis dengan baju ketat mempertontonkan kelenturan tubuh mereka. Seorang penari berdiri di atas kepala penari yang lain sambil menyunggi candlestick di atas kepalanya, dengan lilin-lilin asli yang menyala. Sementara itu, beberapa penari lain menari di sekeliling mereka, juga sambil membawa lilin-lilin yang menyala. Menyatukan keindahan tarian China dengan aksi akrobatik. Woooww.. lagi.
Scene kedua pun ditutup dengan atraksi para dayang istana memberi hormat kepada penonton dengan merentangkan kedua tangannya, dan berharap supaya para penonton sekalian selalu dianugerahi kesehatan, kemakmuran dan umur panjang. Kemudian tirai pun ditutup, dan scene ketiga dimulai.

Pertempuran Besar

Sebelum memulai scene selanjutnya, penonton diberi sedikit pengenalan lewat film dokumenter pendek tentang kerasnya sejarah yang pernah menerpa kota Hangzhou (saat masih bernama Lin’an, tentunya). Sebagai ibukota, kota ini selalu mendapat serangan dari bangsa barbar yang hendak menguasai China. Pertempuran demi pertempuran, dan ribuan, puluhan ribu, bahkan ratusan ribu nyawa pernah melayang demi merebut atau mempertahankan kota ini.

Tirai pun dibuka, dan nampak para prajurit berbaris rapi dengan tombaknya di muka gerbang ibukota, bersiap menahan serbuan musuh. Mereka mempertontonkan kemampuan bertempur mereka untuk membela negara. Kemudian, prajurit bertameng maju ke muka, dan bersiap-siap menghadapi serangan.

Tiba-tiba, di depan kami, para barbar penyerbu muncul dari bawah panggung, dikerek ke atas. Mereka bersenjatakan senjata pentung dan juga meriam. Setelah menembakkan meriam, mereka pun menyerbu kota yang mulai dikepung api. Tak kenal ampun, satu persatu prajurit penjaga kota dibantai dengan kejamnya. Akhirnya, sang panglima pun turun tangan mempertahankan kota. Satu persatu musuh yang hendak naik ke atas tembok gerbang ia lawan dan tak satupun berhasil menerobos pertahanannya.

Kemudian muncul prajurit berkuda. Hebatnya, benar-benar kuda hidup yang mereka tunggangi di pertunjukan ini. Meski tidak beratraksi macam-macam, namun saya cukup tertegun. Benar-benar total. Kemudian, para prajurit yang tadi pun keluar lagi. Bersiap menghadapi serbuah musuh, mereka pun maju menerima serangan. Namun, ratusan anak panah segera menyambar tubuh mereka, dan mereka pun tewas terkapar. Ketika sang panglima tengah sekarat, datanglah sang istri tercinta, mencari suaminya di tengah medan laga. Namun yang ia jumpai, suaminya tengah meregang nyawa. Dengan sedih, ia pun mencoba membawa pergi tubuh suaminya itu, namun apa daya, ia tak punya cukup tenaga untuk melakukannya.

Akhirnya, dengan tenaga yang tersisa, para prajurit mencoba meneruskan pertempuran. Mereka pun dengan gagahnya mencoba untuk kuat, dan kemudian muncullah sang jenderal pemberani, Yue Fei. Scene ketiga pun berakhir.

Romantisme Legenda Rakyat

Setelah tabir kembali dibuka, para penari – kali ini berkostum hijau dan kuning – muncul sambil membawakan tarian-tarian dengan tema indahnya pemandangan Hangzhou. Untuk membuat cerita semakin nyata, air pun dipancurkan dari bagian atas panggung dan hampir membasahi deretan bangku paling depan. Dalam hati saya berpikir, untung tidak membeli tiket front seat. Namun saya kecele, karena dari atas kami tiba-tiba juga disemprotkan air. Wah, dikerjain nih…

Semprotan air itu bukan tanpa maksud. Adegan selanjutnya mengambil cerita dari legenda terkenal yang “konon katanya” pernah terjadi di Hangzhou, yaitu Legenda Ular Putih. Dikisahkan, waktu perayaan Qingming, hujan turun dengan derasnya di danau barat, sementara siluman ular putih dan adiknya, siluman ular hijau yang tengah menyamar menjadi sepasang gadis cantik dan molek, tengah berjalan-jalan menikmati keindahan. Mereka pun kebingungan mencari payung, dan pada saat yang sama muncullah sang sastrawan ganteng, Xu Xian, menawarkan payungnya pada mereka. Jadilah sepasang insan itu bertemu di jembatan Duan Qiao alias jembatan patah yang terkenal itu. (Konon kabarnya, muda-mudi yang tengah berpacaran kalau bisa berjalan sampai melewati Duan Qiao, cintanya akan langgeng. Mau coba?) Aksi panggung mereka diiringi lagu soundtrack serial TV jadul “White Snake Legend” yang sudah sangat familiar di telinga saya (di telinga Anda juga, agaknya, karena dulu pernah diputar di SCTV sekitar tahun 90-an).

Karena siluman dan manusia tidak boleh bersatu, mereka pun dipisahkan oleh kehendak langit. Bai Suzhen, sang siluman ular putih, marah karena dipisahkan dari suaminya lantas mencoba menenggelamkan kuil Jin Shan milik biksu Fa Hai. Sayangnya, sang biksu yang sakti berhasil mengalihkan air bah itu, yang malah balik menenggelamkan kota Hangzhou dalam banjir bandang. Karena kesalahannya, akhirnya Bai Suzhen dikurung di kuil Lei Feng.

Legenda kedua adalah legenda lain yang telah mendunia, tidak mungkin kalau Anda sampai tidak tahu, yaitu legenda Sampek-Engtay (Liang San Bo – Zhu Ying Tai). Sepasang penari – laki-laki dan perempuan – menari dengan indahnya di tengah iringan musik yang juga pernah menjadi soundtrack film layar lebar “Liang Zhu” (dibintangi oleh Nicky Wu kalau tidak salah). Penari-penari lainnya dengan kostum kupu-kupu menari di sekeliling mereka. Ceritanya, setelah Engtay bunuh diri karena ditinggal mati kokoh Sampek, mereka berdua kemudian berubah menjadi kupu-kupu dan terbang beriringan. Pancaran background lighting berupa sinar-sinar laser yang berwarna-warni menambah indahnya aksi panggung mereka. Tak puas di situ, sepasang penari utama itu bergelantungan dengan bantuan kain yang panjang dan berputar-putar di atas panggung, dengan pose akrobatik yang luar biasa indahnya. Yang membuat hadirin lebih bertepuk tangan lagi, selama bergelantungan di atas itu, “Engtay” hanya berpegangan pada “kokoh Sampek” dengan bantuan sebatang tongkat berputar yang ia gigit dengan giginya. Mungkin ingin memperagakan adegan ciuman, namun dibuat lebih dramatis dan artistik. Memang spektakuler.

Kota Internasional

Scene terakhir dibuka dengan introduksi singkat, memperkenalkan Hangzhou sebagai kota internasional karena di dalamnya berkumpul banyak sekali orang dari penjuru dunia. Sebagai tarian pembuka, beberapa orang gadis pemetik the menari dalam tema “Long Jing Tea”. Ada juga beberapa orang gadis cantik dengan bodinya yang mulus membawa cawan teh Long Jing (asli atau tidak, saya nggak tahu), kemudian berjalan ke bangku VIP di tengah, dan memberikan teh di tangan mereka kepada penonton. Ooo, jadi itu rupanya kenapa harga tiket bangku VIP lebih mahal 80 RMB dari tiket saya.

Tarian berikutnya adalah tarian India. India? Kok India ya? Entah apa alasannya, tetap saja tarian yang mereka suguhkan sangat menarik. Saya jadi ingat film-film Bollywood, hanya saja para penari di sini matanya sipit dan perutnya lebih ramping. Tetap saja, goyang pinggul, kedipan bulu mata dan lambaian tangannya seperti aslinya di tepi sungai Gangga sono. Tariannya singkat, hanya 3 menit, namun cukup membuat saya terpukau.

Selanjutnya, giliran tarian dari negeri Ginseng. Kata intro, namanya “Arirang”, namun saya tidak tahu apa benar atau tidak. Para gadis berbaju Hanbok dengan gendang mereka masing-masing memadu gerak dan irama tabuhan dengan indahnya. Gerakan lembutnya sangat kontras dengan tarian India yang barusan selesai.

Setelah menari selama 2 menit, giliran para penari pria yang keluar. Mereka mengenakan kopiah dengan tali yang bisa berputar-putar di atas kepala mereka. Dengan liukan kepalanya, mereka membuat tali itu berputar dalam lingkaran. Apa nggak capek ya lehernya? Tarian pun ditutup dengan Buchaechum, di mana para penari wanita yang berbaris melingkar serentak membuka kipas mereka dan nampak seperti bunga anggrek yang tengah mekar. Wah… indahnya…

Dan, aksi theatrikal mereka pun berakhir, dengan semua penari melakukan curtain call, memberi hormat kepada penonton yang membalasnya dengan applause meriah.

Jalan-jalan Lagi

Puas menonton theater yang memukau, kami melanjutkan lagi jalan-jalan di kota kuno itu. Ella yang harus ke kamar kecil meminta saya menunggu di luar. Sewaktu menunggu, ada keramaian yang berkumpul di bawah balkon sebuah rumah bergaya China kuno. Ternyata, baru ada acara mencari jodoh.

Seorang hartawan kaya berdiri di balkon rumahnya, mengumumkan pada khalayak ramai bahwa ia sedang mencari menantu untuk putrinya yang cantik. Putrinya nanti akan melemparkan bola kain ke arah kerumunan, dan pria manapun yang berhasil menangkapnya akan dijadikan menantu. Kemudian sang nona pun muncul, dan dengan malu-malu melemparkan bolanya. Seorang wisatawan yang berhasil menangkap bola itu kemudian digiring masuk dan didandani seperti seorang Xin Lang (pengantin pria). Mereka pun kemudian “dinikahkan”. Setelah upacara selesai, hartawan itu kemudian mengucapkan terimakasih pada penonton, dan masuk bersama anak dan “menantu”nya. Entah apa yang terjadi kemudian di dalam pada pasangan pengantin baru itu ya…? (sekali lagi, dilarang ngeres…!)

Setelah berputar-putar, kami pun sampai ke “jalan aneh”. Mengapa disebut demikian? Ternyata ada rumah-rumah “aneh” di dalamnya. Ada rumah miring (interiornya sengaja dibuat miring, saya pun jadi agak mabok di dalam), rumah “terbalik” (interiornya dibuat terbalik, meja dan kursi dilekatkan ke atap dan lukisan dipajang terbalik), rumah mendatar (interiornya ditata miring 90 derajat, meja dan kursi diletakkan di dinding), rumah kaca, rumah bayangan hantu, dsb. Kami pun mencoba satu-persatu. Asyik juga.

Tak terasa, hari pun sudah beranjak sore. Kami harus cepat mengejar bis kalau tidak mau kemalaman. Hari itu rasanya senang sekali, bisa jalan-jalan mengenang romantisme zaman kuno, dan menyaksikan pertunjukan yang sangat indah dan berkesan di hati. Kapan-kapan, pasti saya akan datang lagi..!

Penulis & Fotografer : Michael W - Hangzhou, China
Sumber : Kompas Community/liburan.info

Desa Lingga Pewaris Rumah Adat

0 komentar
Desa Lingga sampai saat ini masih memiliki bangunan-bangunan tradional seperti: rumah adat, Jambur, Lesung, Geriten dan Sapo Page. Bentu, bahan dan teknik mendirikan bangunan itu hampir sama, yakni letak dindingnya miring ke arah luar, mempunyai dua pintu yang menghadap ke arah barat dan timur.


Pada kedua ujung atap terdapat tanduk atau patung kepala kerbau. Dinding lantai dan tiang-tiangn terbuat dari kayu. Untuk tangga tura atau tea dan lain-lain dibuat dari bambu. Sedangkan alat pengikat dan atap digunakan ijuk. Pada beberapa bagian rumah terdapat relief yang dicat dengan warna merah, putih, kuning, hitam dan biru. Bangunan-bangunan itu berbentuk khusus yang melambangkan sifat-sifat khas dan suku bangsa Karo.

Rumah adat Karo memunyai ciri-ciri serta bentuk yang khusus. Rumah ini sangat besar dan didalammya terdapat ruangan yang luas , tidak mempunyai kamar-kamar. Namun mempunyai bagian-bagian yang ditempati oleh keluarga batih atau jabu tertentu. Rumah adat berdiri di atas tiang-tiang besar serupa rumah panggung yang tingginya kira-kira dua merter lebih dari tanah. Lantai dan dinding dari papan yang tebal dan letak dinding rumah agak miring keluar, mempunyai dua buah pintu menghadap ke sebelah barat satu lagi ke sebelah Timur.

Tangga masuk ke rumah juga ada dua sesuai dengan letak pintu dan terbuat dari bambu bulat. Menurut kepercayaan mereka, jumlah anak tangga harus ganjil. Di depan masing-masing pintu terdapat serambi, dibuat dari bambu-bambu bulat, besar dan kuat disebut Ture. Ture ini digunakan untuk anak gadis bertenun. Sedang pada malam hari Ture atau seambi ini berfungsi sebagai tempat naki-naki atau tempat perkenalan para pemuda dan pemudi untuk memadu kasih.

Sesuai dengan atapnya, rumah adat karo terdiri dari dua macam, yaitu rumah adat biasa dan rumah anjung-anjung. Pada rumah adat biasa mempunyai dua ayo-ayo dan dua tanduk kepala kerbau. Sedangkan pada rumah anjung-anjung terdapat paling sedikit ayo-ayo dan tanduk kepala kerbau.

Teknologi tradisional lainnya yang masih ada peninggalannya di desa Lingga adalah Sapo Page yang artinya lumbung padi. Bentuk Sapo Page adalah seperti rumah adat. Letaknya di halaman depan rumah adat. Tiap-ttiap Sapo Page milik dari beberapa jambu atas rumah adat. Sama dengan Geriten, Sapo Page terdiri dari dua tingkat dan berdiri di atas tiang . Lantai bawah tidak berdinding. Ruang ini digunakan untuk tempat duduk-duduk, beristerahat dan sebagai ruang tamu. Lantai bagian atas mempunyai dinding untuk menyimpan padi.

Warisan budaya yang berupa bangunan lain yang masih dapat kita jumpai di desa Lingga adalah lesung antik. Lesung ini dibuat dari kayu pangkih sejenis kayu keras, lesung tersebut mempunyai tiga puluh empat buah lubang tempat menumbuk padi. Letak lubang ada yang berpasang-pasang dan ada pula yang sebaris memanjang. Lesung ini terletak dalam sebuah bangunan tradisional yang tidak berdinding. Bangunan ini mempunyai enam buah tiang-tiang besar, tiga sebelah kanan yang disebut binangun Pinem.

Di desa Lingga masih dapat kita saksikan seni tari yang bersifat hiburan maupunyang berhubungan dengan adat. Untuk melayani kebutuhan wisatawan yang berkunjung ke desa Lingga, maka di desa Lingga terdapat tarian yang bersifat hiburan.

Tarian Gundala-Gundala; sebenarnya adalah tarian yang berhubungan dengan kepercayaan. Apabila dalam suatu kemarau yang panjang, maka diadakan upacara memanggil hujan yang disebut upacara ndilo wari udan. Tarian ini merupakan tari topeng kepala burung. Keempat pemain memakai baju jubah. Tarian ini menggunakan musik pengiring tradisional.

Tarian Guro-Guro Aron; tarian ini ditarikan khusus pada waktu pesta muda-mudi. Tetapi pesta muda-mudi ini tidak berdiri sendiri. Biaanya pest ini diadakan setrelah panen. Tarian Simelungun Raja; tarian ini adalah tarian adat yang ditarikan khusus pada upacara-upacara adat seperti perkawinan, kematian dan memasuki rumah baru.

Selain tarian, nyanyian juga mempunyai arti penting di dalam pelaksanaan upacar adat. Lagu tangis , dinyanyikan jika ada yang meninggal, si penyanyi menangis sambil mengucapkan kata-kata dengan naa sedih. Kata-katanya melukiskan riwayat hidup si mati sejak kecil dengan segala penderitaan dan kebaikannya dan bagaimana sedihnya perasaan keluarga yang ditinggalkannya.

Lagu Talas, biasanya dinyanyikan oleh guru waktu memimpin upacara ”Erpangir Kulau ”, atau pada waktu guru penawar meramu obat-obatan tradisonal untuk mengobati yang sakit. Lagu-lagu ini khusus dinyanyikan pada waktu diadakan upacara memasuki rumah baru atau mengket rumah imbaru, dan upacara perkawinan. Lagu ini mengandung arti memohon keselamatan untuk seisi rumah dan keluarga. (rn)

Sumber : Perempuan.com

Segara Anakan, Cilacap; Nikmati Laguna Nan Unik

0 komentar

Banyak daerah di Indonesia yang memiliki wilayah yang luas, namun tidak memiliki banyak obyek wisata. Cilacap adalah Kabupaten dengan wilayah paling luas di propinsi Jawa Tengah. Hanya saja nama penjara Nusa Kambangan sudah kepalang basah mencitrakan daerah ini sebagian daerah napi. Padahal ada kawasan Segara Anakan, sebuah hutan bakau yang luas yang menggoda siapa saja yang ingin menikmati petualangan bahari.

Segara Anakan adalah kawasan laguna unik seluas 40 ribu hektar di Pantai Selatan Pulau Jawa. Tidak hanya hutan bakau dengan keberagaman flora dan fauna, Segara Anakan menjadi tempat menarik bagi para nelayan yang tinggal di kampung ini. Serta gua yang dipercaya menjadi tempat tinggal para makhluk gaib.

Pelabuhan Sleko adalah gerbang utama, untuk memasuki kawasan wisata Segara Anakan. Segara Anakan guna dibagian belakang Pulau Nusa Kambangan dan untuk mencapainya bisa menggunakan perahu nelayan kecil atau compreng, yang tarifnya 50 hingga 100 ribu rupiah per orang.

Perjalanan sekitar 3 jam dari hulu hingga ke hilir. Hutan bakau mulai terlihat ketika memasuki sungai kecil. Disini laju perahu harus diperlambat agar tidak menabrak jajaran pohon bakau yang tumbuh dengan lebatnya. Hutan bakau tertata dengan rapi di area yang begitu luas, sekitar 9000 hektar.

Nelayan kerap melintasi kawasan ini untuk membawa hasil tangkapan mereka. Meskipun warga asli Segara Anakan, para nelayan disini sulit mendapatkan air bersih dan bahan bakar. Dan drum-drum yang mereka bawa ini berisi air bersih dan BBM yang mereka beli dari Kota Cilacap.

Setelah sekian lama berputar-putar kami tiba dibibir sungai. Disini suasana begitu hidup dengan kicauan burung kuntul. Serta buah yang dapat dipercaya menjadi tempat tinggal para makhluk gaib. Kawasan Segara Anakan sebagian masih terlindungi dengan baik dari gangguan manusia. Namun hanya sebagian kecil. Kabarnya, tinggal sekitar 1200 hektar yang masih terawat dengan baik.

Perlahan-lahan hutan bakau Segara Anakan terkikis habis. Baik secara alamiah karena proses pendangkalan, namun juga ulah manusia yang mengambil kayu bakau. Butuh perjuangan keras untuk menyelamatkan kawasan ini.

Tidak jelas sejak kapan ada pemukiman nelayan di kawasan pesisir Segara Anakan. Jajaran perumahan sederhana yang berdiri tegak ini adalah pemukiman penduduk asli. Di kawasan ini yang namanya lebih dikenal dengan nama Kampung Laut, cukup sulit untuk menjangkaunya karena letaknya sangat terpencil.

Kami merapat di Kampung Laut, ujung Aru. Kesan terpencil begitu terasa. Kampung sangat sepi. Ada 3 desa di kampung ini. Bagi penduduk disini, Segara Anakan ibarat sepasang kekasih yang tidak bisa dipisahkan dengan Kampung Laut. Penduduk disini sangat bergantung dengan laguna, yang menjadi sumber kehidupan mereka.

Bila laguna ini tidak diselamatkan dari proses pendangkalan, maka sama saja kiamat bagi mereka. Kami bertemu dengan salah satu penduduk disini bernama Yani, yang tinggal bersama putranya, Ujang. Hidup mereka bergantung dari kepiting bakau, yang banyak hidup dikawasan ini.

Mereka biasanya mulai mengumpulkan dan melihat hasilnya pada malam hari. Mereka menjualnya hingga ke kota-kota besar seperti Semarang dan Jakarta. Harganya sekitar 40 hingga 50 ribu rupiah per kiloan dan menjadi 2 kali lipat bila kita menyantapnya di restaurant.

Hidup matinya Kampung Laut tergantung dari kepiting bakau, yang hidup disini. Mereka berharap harganya akan terus membaik di pasar. Yang barangkali mereka tidak tahu adalah sampai kapan kepiting ini beranak pinak, bila lingkungan kawasan Segara Anakan kian terancam.

Kampung Laut bukan akhir dari cerita tentang Segara Anakan. Sebagian kawasan ini masih diselimuti hal-hal yang gaib. Bagi sebagian orang yang pernah datang ke tempat ini. Di kawasan ini terdapat gua yang bernama Masigitsela, yang letaknya di kaki bukit Pulau Nusakambangan.

sumber : perempuan.com

Air Terjun Oenesu, Kupang; Merajut Cinta Dibawah Gemuruh Air

0 komentar

Di atas batu cadas, di samping Oenesu kami bertemu. Di dekat air yang jatuh bergemuruh, kami merajut rindu. Lenyap sudah resah hampa, setelah sekian lama terpisah. Di situ kami kembali menyatu. Pagi belum sempurna. Matahari pun belum muncul dari peraduan.

Tapi Lorita sudah terbangun dari mimpinya sejak dini hari. Dia tak bisa lelap. Di benaknya yang terisi hanya wajah kekasihnya, Reynald. Janji untuk bertemu setelah setahun terpisah jarak waktu, membuat malam itu terasa panjang dan menyiksa. Andai saja dia bisa merubah waktu, dia ingin sekali menarik matahari untuk segera muncul diiringi kokok ayam jago.

Di lain tempat, Reynald pun demikian. Apa yang dialami kekasihnya, tengah dirasakannya juga. Dia tersiksa kerinduan yang begitu mendalam. Matanya sulit terpejam, selalu membayangkan keindahan bertemu pujaan hati nanti.

Waktu kemudian bergulir mengikuti kodrat. Selalu berputar melaju meningalkan semua yang ada di belakang. Yang tertinggal kemudian menjadi sejarah atau hanya sekadar cerita lama. Oenesu pagi itu masih hening. Sinar matahari belum mampu menerobos rimbunnya pepohonan di sekitarnya. Hari kian beranjak, matahari perlahan menyusup. Di sanalah terlihat sepasang kekasih tengah merajut rindu. Mereka itu Lorita dan Reynald. Di atas sebongkah batu cadas, sejoli itu saling tatap lalu merapat.

Gemuruh air Oenesu menjadi saksi betapa bahagianya mereka kembali menyatu. Dari atas ketinggian, tepat di bawah mereka. Mereka yang bertemu kali pertama di Oenesu lalu sepakat menjadi sepasang kekasih lalu terpisah jarak waktu kini kembali menyatu di Oenesu. Bagi mereka Oenesu bukan sekadar lokasi wisata alam yang indah, rindang, dan menawan. Pun menjadi destinasi cinta mereka yang abadi.

Demikianlah banyak cerita cinta yang terjadi di Air terjun Oenesu. Air terjun Oenesu memang kerap didatangi pengunjung yang tengah dilanda mabuk cinta. Selain mereka, sejumlah wisatawan baik lokal, nusantara maupun mancanegara terutama turis Australia juga kerap mendatangi air terjun bertingkat ini. Tujuan mereka beragam, ada yang datang untuk merayakan ulang tahun, beribadah, sekadar piknik, dan lainnya.

Air terjun Oenesu merupakan sebuah tujuan wisata utama yang selalu ramai dikunjungi, baik oleh wisatawan lokal maupun mancanegara. Pada hari libur atau Minggu, objek wisata yang satu ini bisa dikunjungi lebih dari 1.500 orang.

Lokasi Air terjun Oenesu luasnya sekitar 0,7 hektar. Topografinya cukup menantang, berbukit-bukit. Jadi sangat tepat bagi mereka yang suka kegiatan alam bebas, seperti menjelajahi hutannya dan menyusuri sungai kecil di sekitarnya. Di hutannya terdapat beberapa burung liar dan satwa lainnya. Sewaktu saya bertandang di Oenesu, terlihat beberapa pemuda lokal sedang mencari udang dengan menggunakan tombak dari kayu.

Yang membedakan air terjun ini dengan air terjun yang ada di NTT, Oenesu memiliki empat tingkat. Airnya meluncur dari air terjun pertama hingga ke air terjun berikutnya. Di sela-sela air terjun terdapat kubangan air berupa kolam alami yang menggoda siapapun untuk berenang.

Saat musim hujan, curuhan dan volume air Oenesu begitu melimpah. Kendati begitu airnya tetap jernih. Sementara ketika musim panas, airnya tak pernah kering meski tak sebanyak saat musim hujan. Namun airnya terlihat lebih jernih.

Kini Air Terjun Oenesu menjadi tempat rekreasi yang cukup digemari. Pengunjung yang datang selain mandi, ranang, juga ada yang kemping, dan menjelajahi hutan wisata. Fasilitas pendukungnya berupa tangga turun yang disemen sehingga pengunjung dapat lebih mudah mencapai dasar air terjun.

Selain itu juga ada jembatan kayu untuk memasuk kawasan hutan di sekitar air terjun. Sementara di sekitar areal parkirnya tersedia beberapa gazebo untuk melepaskan lelah usai menikmati Oenesu atau sekadar menikmati makanan dan minuman yang dibawa atau dibeli di warung setempat.

Matahari mulai condong ke Barat, Oenesu mulai ditinggali pengunjungnya satu per satu. Lain halnya dengan cerita Lorita dan Reynold, meraka masih betah duduk di batu cadas dekat tumpahan air terjun tingkat pertama. Mereka masih ingin menumpahkan sekaligus merajut rindu lebih erat lagi.

Air Terjun Oenesu berada di Kecamatan Kupang Barat, sekitar 17 kilometer dari Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Akses jalan menuju air terjun ini beraspal mulus. Hanya beberapa kilometer pada cabang masuk air terjun yang jalannya sedikit rusak.

Oenesu dapat dicapai dengan kendaraan roda empat baik peribadi maupun umum. Kalau dengan kendaraan umum, Anda bisa menyewa mobil travel dari Kota Kupang sekitar Rp 500.000 per hari. Waktu tempuhnya sekitar 1,5 jam dari Kota Kupang. Tiket masuk Rp 1.500 untuk orang dewasa dan Rp 1.000 untuk anak kecil. Kendaraan roda empat harus membayar Rp 2.000 dan roda dua membayar Rp 1.000.

sumber : perempuan.com

G. Dempo, Sumsel; Nikmati Teh Hangat Ditengah Dinginnya Alam

0 komentar

Menikmati dinginnya pegunungan dengan pemandangan kebun teh yang terbentang luas, ternyata tidak hanya dapat dilakukan di Puncak, Jawa Barat. Di Sumatera Selatan, tepatnya di Gunung Dempo, suasana serupa bisa Anda dinikmati. Kelebihannya, Anda tidak harus stres menghadapi kemacetan di jalan raya.

Menyeruput secangkir teh manis panas yang dipetik dari lereng Gunung Dempo bisa memanaskan tubuh Anda kala pagi hari, setelah malam sebelumnya Anda berselimut dingin di villa atau hotel tempat Anda menginap.

Setelah mengguyur tubuh dengan air pegunungan yang mengalir hingga mencapai kamar mandi, mata Anda bisa makin terbelalak menyaksikan anugerah Tuhan berupa indahnya pemandangan.

Gunung Dempo adalah gunung tertinggi di Sumatera Selatan, setinggi 3.195 meter di atas permukaan laut (dpl), dan tergolong sebagai gunung berapi aktif yang sering mengeluarkan asap dengan menyemburkan sedikit lumpur ke dataran rendah di bawahnya. Gunung ini masuk dalam jajaran Pegunungan Bukit Barisan yang memiliki dua puncak, yaitu Gunung Dempo dan Gunung Marapi.

Kawasan Gunung Dempo merupakan satu-satunya lokasi wisata gunung di Sumatera Selatan. Di kawasan hutan menuju puncak Gunung Dempo terdapat sungai kecil dengan airnya yang jernih.

Para pendaki dapat memanfaatkan air sungai ini sebagai air minum selama perjalanan. Untuk mendaki, pengunjung harus melalui kawasan hutan dengan menelusuri jalan setapak yang dipenuhi akar-akar pepohonan besar yang melintang. Keadaan hutan ini lebat dan sunyi, hanya terdengar suara kicauan burung.

Dari ketinggian tertentu, pengunjung dapat menyaksikan hamparan kebun teh seluas 1.500 hektare milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII. Jika pengunjung melihat lebih jauh, akan tampak Kota Pagaralam. Panorama ini akan lebih indah jika dilihat pada malam hari, karena gemerlap lampu menghiasi Kota Pagaralam.

Gunung Dempo terletak sekitar 310 km sebelah barat Kota Palembang. Untuk mencapai gunung ini, pengunjung dapat menggunakan bus menuju Kota Pagaralam dalam waktu sekitar tujuh jam perjalanan. Tarifnya cukup Rp 70.000/orang untuk yang ber-AC dan Rp 40.000 untuk kelas ekonomi.Dari Terminal Pagar Alam, pengunjung dapat menuju ke kaki Gunung Dempo yang jaraknya sekitar 15 km dengan mobil menuju Pabrik Teh PTPN III.

Di dekat pabrik teh ini, ada baiknya pengunjung menemui sesepuh Gunung Dempo, yang akan mengantar pengunjung ke desa terdekat dari kaki Gunung Dempo, yaitu Kampung Empat dengan waktu tempuh sekitar 30 menit. Dari tempat ini, perjalanan dilanjutkan melalui jalan setapak menuju ke Puncak Gunung Dempo. Jika ingin menginap, ada vila, losmen, motel, dan warung makan di kaki Gunung Dempo.

Kota Pagaralam selain mempunyai wisata alam juga memiliki lokasi purbakala. Terdapat sedikitnya 33 air terjun dan 26 situs menhir yang sudah tercatat. Ada pula Batu Gong, perkebunan teh lereng Dempo, Sungai Lematang Indah, Air Terjun Curup Embun, Arca Manusia Purba, dan kegiatan petualangan (adventure out door) berupa arung jeram atau aktivitas terbang layang.

Setelah digunakan untuk Pekan Olahraga Nasional (PON) XVI lalu, tersedia landasan untuk menikmati keindahan lereng Gunung Dempo dengan menggunakan pesawat layang.

Upaya menjual objek wisata memang telah dilakukan. Hanya saja, seperti diakui Wakil Ketua DPRD Pagaralam Suhardin, pendapatan dari sektor pariwisata belum signifikan. “Tetapi PAD (Pendapatan Asli Daerah) dari wisata ini ditargetkan bisa menjadi modal pembangunan daerah. Makanya, pembangunan dan pengelolaan aset-aset wisata ditangani badan usaha daerah,” ujarnya.

Wali Kota Pagaralam Djazuli Kuris menyatakan, pelayanan diupayakan semaksimal mungkin. Tinggal menunggu bagaimana sinergi dengan program Visit Musi saja, sehingga wisatawan baik dari Nusantara maupun mancanegara bisa menikmati keelokan Gunung Dempo. “Mereka akan kami buat menyesal kalau tidak kembali lagi setelah kedatangan pertama,” katanya berpromosi

sumber : perempuan.com

Samarinda, Kaltim; Menjelajah Perkampungan Dayak Kenyah

0 komentar
Menyebut Suku Dayak, mungkin yang terlintas dibenak suku yang tinggal di pedalaman hutan Kalimantan yang sulit dijangkau. Lain halnya dengan Suku Dayak Kenyah, Anda cukup datang ke Kota Samarinda bagian Utara, Kalimantan Timur, tepatnya di perkampungan Dayak, Desa Pampang.

Perkampungan Dayak Kenyah ini terbilang cukup mudah di kunjungi. Anda tidak perlu naik turun gunung apalagi keluar masuk hutan belantara. Karena perkampungan ini terletak sekitar 20 Km dari kota Samarinda dan itu pun bisa ditempuh dengan kendaraan karena jalan beraspal mulus.

Sebenarnya Suku Dayak yang tinggal di Desa Pampang merupakan sub-etnis Dayak Kenyah. Semula kawasan tersebut merupakan hutan, namun setelah warga Dayak Kenyah dari Desa Long Us, Apokayan, Kabupaten Bulungan yang berjumlah 35 orang bermigrasi, kawasan itu kemudian berkembang seperti sekarang ini.

Hingga kini penduduk Pampang sudah sekitar 1.000 jiwa. Kendati menerima budaya modern dari luar, warganya tetap teguh mempertahankan tradisi sehingga perkampungan ini dijadikan Desa Budaya Pampang oleh Pemerintah Kota Samarinda.

Suku Dayak di seluruh pelosok Kalimantan saat ini berjumlah sekitar 19 suku. Setiap suku memiliki pemimpin (kepala suku) dan adat istiadat yang berbeda. Begitu juga dengan Suku Dayak Kenyah yang tinggal di Desa Pampang ini.

Warga Dayak Kenyah di Pampang tetap mempertahankan budaya leluhurnya, seperti menenun, mengukir, dan membuat aneka kerajinan tangan. Di desa ini pun masih terdapat Lamin (rumah panjang khas Dayak). Bagi para wisatawan yang ingin membeli souvenir, di Desa Pampang banyak orang yang menjajakan berbagai pernak pernik dari yang kecil hingga yang besar seperti gantungan kunci dan patung kayu.

Setiap hari libur, warga Dayak menggelar berbagai tarian tradisional di Lamin antara lain Tari Kancet Lasan, Kancet Punan Lettu, Kancet Nyelama Sakai, Hudog, Manyam, Pamung Tawai, Burung Enggang, dan tari Leleng.

JIka kebetulan, saat anda berkunjung ke desa tersebut sedang digelar acara adat tahunan Pelas Tahun atau disebut juga Alaq Tau, anda pasti akan merasa takjub meliaht upacara yang digelar detiap tahunnya itu. Pelas Tahun ini merupakan kegiatan pengucapan rasa terima kasih kepada Tuhan setelah panen raya yang jatuh setiap Juni, namun tanggalnya berbeda-beda tergantung hari baik.

Dalam acara tersebut diawali sambutan kepala suku lalu pertunjukan upacara adat dan tari-tarian tradisonal Suku Dayak Kenyah. Para penarinya dari anak-anak hingga para sepuh dengan diiringi musik khas Suku Dayak Kenyah. Penari Dayak yang ada di Desa Budaya Pampang ini sering diundang untuk mengisi acara ulang tahun kedutaan-kedutaan RI seperti di Jepang, China, Amerika, Belanda, Jerman, Swiss, Belgia, dan lainnya.

Kehidupan Dayak Kenyah di Desa Budaya Pampang sama halnya dengan masyarakat lain. Mereka mengenal tehnologi dan banyak juga yang bekerja di kantor swasta maupun di pemerintahan. Bahkan di kampung tersebut tinggal juga suku Dayak lain seperti Tunjung dan Benuag serta Suku Banjar dan Bugis.

Kebiasan mereka untuk tetap melestarikan kebudayaan dan hidup berbaur dengan masyarakat lainnya membuat desa ini menarik dan menjadi tujuan wisata baik wisnus maupun wisman selagi bertandang ke Kaltim.

Jadi bila Anda tak punya banyak waktu untuk melihat kehidupan orang dayak asli, tato orang dayak, kuping panjang, Lamin beserta ukur-ukiran sekaligus ingin membeli souvenir khas dayak di pedalaman, rasanya Anda cukup ke Desa Budaya Pampang, Samarinda saja.

Untuk datang ke Desa Budaya Pampang, Anda perlu menyewa taksi (sebutan untuk mobil sewaan, bukan taksi umumnya dengan argo) atau dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan bermotor melalui jalan poros Samarinda-Bontang. Kampung budaya ini terletak 5 Km dari jalan poros.

Daya tarik yang dapat disaksikan adalah Lamin atau rumah adat suku Dayak serta tarian dan upacara adat Dayak Kenyah. Setiap hari Minggu ada acara budaya yang dapat disaksikan oleh para pengunjung, acara dimulai jam 14.00 siang sampai selesai. Cobalah bersikap sopan terhadap Suku Dayak bila berinteraksi. Biasanya bila Anda ingin mengabadikan sesepuh Dayak Kenyah atau orang berkuping panjang mereka akan meminta imbalan sekitar 20 - 50 ribu rupiah.

sumber : perempuan.com

P. Flores; Menjelajah Pedalaman Yang Mempesona

0 komentar

Nama Pulau Flores berasal dari Bahasa Portugis "Cabo de Flores" yang berarti "Tanjung Bunga". Nama ini kemudian dipakai secara resmi sejak tahun 1636 oleh Gubenur Jenderal Hindia Belanda Hendrik Brouwer. Nama Flores yang sudah hidup hampir empat abad ini sesungguhnya tidak mencerminkan kekayaan Flora yang dikandung oleh pulau ini. Karena itu, lewat sebuah studi yang cukup mendalam Orinbao (1969) mengungkapkan bahwa nama asli Pulau Flores adalah Nusa Nipa (yang artinya Pulau Ular). Dari sudut Antropologi, istilah ini lebih bermanfaat karena mengandung berbagai makna filosofis, kultural dan ritual masyarakat Flores.

Tampak deretan pegunungan terjal, tidak beraturan, dan sulit untuk dilalui. Itulah kesan pertama saat memandang daratan pulau Flores. Sekalipun demikian kenyataannya gunung-gunung ini menyimpan banyak hal mengagumkan, baik itu kawah-kawah gunung apinya maupun desa-desa tradisional dengan beragam kerajinan tenun ikatnya.

Pulau Flores sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit pada abad ke-14. Posisinya cukup strategis karena menjadi jalur lintasan perdagangan kayu cendana dari Pulau Timor ke Cina dan ke India. Hal ini membuat Kerajaan Gowa, Kerajaan Ternate, Bangsa Portugis dan Belanda berebut untuk menguasai pulau yang panjangnya 375 km ini.

Para pendatang ini, berusaha menanamkan pengaruhnya di wilayah pesisir, tetapi hanya sedikit yang dapat menyentuh daerah pedalaman karena terhalang oleh deretan pegunungan terjal tidak beraturan. Kini bagian dalam Flores sudah lebih mudah dicapai dengan adanya jalan yang naik-turun yang membelah gunung dan berkelok-kelok. Salah satu hal yang unik di daerah pedalaman ini adalah kepercayaan tradisional yang tetap berakar kuat pada masyarakat penghuninya.

Untuk melihat pedalaman Flores kita dapat memulai perjalanan dari Labuan Bajo. Kota kecil yang dulunya merupakan pemukiman nelayan ini sekarang berkembang menjadi tempat wisata karena berfungsi sebagai pintu gerbang utama menuju Pulau Komodo. Berbagai fasilitas akomodasi dan restoran tersedia cukup lengkap di kota ini.

Di samping itu, Labuan Bajo juga dapat dicapai dengan menggunakan alat transportasi penerbangan dari Denpasar. Setelah mengunjungi pulau Komodo, sebagian wisatawan, terutama wisatawan dari Eropa, melanjutkan kegiatan dengan menjelajahi pedalaman Flores.

Ruteng merupakan daerah tujuan pertama yang dapat ditempuh sekitar 4 jam melalui perjalanan darat dari Labuan Bajo. Kota yang didominasi oleh suku Manggarai ini berada di pusat kawasan Manggarai, pada kaki gunung dengan hamparan persawahan di sekelilingnya.

Tidak jauh dari Ruteng wisatawan dapat mengunjungi perkampungan tradisional dengan rumah adatnya yang unik dan melihat suasana indah dan alami di Danau Ranamese. Setelah bermalam di sebuah hotel kecil di Ruteng, pada pagi hari wisatawan dapat mendaki Gunung Poco Ranaka (2.140 meter) dengan menggunakan kendaraan bermotor, sambil menikmati pemandangan spektakuler.

Atraksi menarik lainnya adalah pertunjukan tarian 'Caci', yaitu pertarungan antara dua lelaki dalam kostum tradisional; yang seorang bersenjata cambuk sebagai penyerang dan seorang lainnya menggunakan perisai untuk bertahan.

Persinggahan berikutnya adalah Bajawa dengan jarak tempuh 5 jam perjalanan dari Ruteng. Kota berudara sejuk ini, berada pada ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut, dikelilingi oleh gunung-gunung api. Bajawa merupakan pusat dari kawasan Ngada yang dihuni oleh suku Ngada, salah satu suku paling tradisional di Flores.

Banyak kampung-kampung tradisional yang dapat dijumpai di sini, diantaranya adalah kampung Bena. Kampung yang berlokasi tidak jauh di Bajawa ini masih memiliki rumah-rumah tradisional lengkap dengan bebatuan megalitnya. Selain itu barang kerajinan tenun ikat menarik dan unik juga dapat diperoleh di Bena. Banyak wisatawan Eropa yang mengunjungi tempat ini sehingga fasilitas akomodasi dan restoran tersedia cukup baik di Bajawa.

Jika ingin selingan untuk melihat pantai pasir putih maka Riung adalah tempatnya. Hanya 2,5 jam perjalanan dari Bajawa, wisatawan dapat bermalam di kota kecil di pesisir utara Flores ini. Berbagai aktivitas dapat dilakukan di sini seperti berperahu menikmati keindahan pulau-pulau kecil, mengamati kawanan kalong atau ber-snorkeling melihat keindahan terumbu karang.

Dari Riung perjalanan dilanjutkan menuju kota Ende yang memakan waktu selama 4 jam, lalu ke Moni dengan jarak tempuh selama 2 jam. Desa Moni adalah pintu gerbang menuju kawah tiga warna Kelimutu yang sangat terkenal. Untuk mencapainya, Anda dapat naik kendaraan sampai mendekati kawah lalu diteruskan berjalan kaki menanjak sekitar 1 kilometer. Setelah itu para wisatawan dapat melihat bentangan alam menakjubkan dari kawah Kelimutu.

Penjelajahan di pulau Flores Ini berakhir di kota terbesar di pulau Ini yaitu Maumere yang dapat dicapai sekitar 4 jam dari Moni. Di kota ini, para wisatawan dapat bersentuhan kembali dengan dunia modern, sebelum akhirnya terbang pulang menuju ke Bali.

sumber : perempuan.com

 

Copyright 2008 All Rights Reserved | Blogger Template by Bloganol and Smart Blogging Tips